Tentu saja aku tidak bisa langsung menghampiri Kakek. Memangnya aku mau bilang apa? Pak Sumirto, aku Iswandi, cucumu dari masa depan! Tidak mungkin, ‘kan? Ah... tapi setelah semua yang terjadi sampai semalam, rasanya aku ingin bicara pada Kakek. Aku cucu durhaka. Setelah kembali ke garis waktu asalku, aku akan minta maaf karena tidak langsung pulang.
Kakek berjalan keluar dari toko sambil menenteng belanjaannya. Banyak juga. Apa tahun ini rumahku sedang direnovasi? Hmm... mungkin saja dua nenek berkebaya di rumahku dua malam lalu tak sengaja merusak genteng karena terlalu heboh tertawa. Memangnya bisa?
Sepertinya Kakek tidak sadar kantong plastik belanjaannya bocor. Itu dia! Aku bergegas meminta kantong plastik besar baru pada pemilik toko, kemudian menyusul Kakek. Beliau berterima kasih setelah kuberitahu masalahnya.
Rasanya baru dua hari, tapi suara berat Kakek yang tidak pernah meninggi benar-benar membuatku kangen.
Awalnya Kakek menolak saat aku menawarkan bantuan membawa belanjaan itu. Tentu saja. Tahun ini aku adalah orang asing yang belum pernah ia temui seumur hidupnya. Namun, setelah mendengar bantuanku gratis, sepertinya dia tidak keberatan. Kami pun mulai berjalan kaki.
Wah, aku salah. Ternyata Kakek tidak membeli banyak, hanya ukuran per barangnya cukup besar. Aku bisa melihat gulungan kawat, tali tambang, dan beberapa sambungan pipa. Melihat barang-barang ini, aku jadi teringat meme gelap tentang pemerintah yang biasa kulihat maupun kuunggah di Facebook. Aku cekikikan.
Kakek tersenyum melirikku. “Kenapa ketawa?”
“Oh, tidak apa-apa.” Aku segera mencari alasan. “Cuma teringat kebiasaan di rumah.”
Kakek diam sejenak. “Adek ini mahasiswa, ya?”
“Ah... sekarang lagi menganggur.” Benar, ‘kan? Mau dicari di kampus mana pun, namaku sudah pasti tidak ada tahun ini.
Pandangan Kakek kemudian kembali tertuju pada jalanan di depan. “Ngomong-ngomong, belakangan ini banyak yang terjadi sama mahasiswa.”
“Iya,” jawabku dengan wajah ngeri mengingat kejadian semalam.
Sepertinya di era mana pun, orang tua senang sekali bercerita. Aku menyimak. Kakek terus bicara tentang hilangnya mahasiswa di malam hari yang mengingatkannya pada kampung halaman dulu, di mana banyak anak dan orang dewasa katanya raib diculik makhluk halus.
Oh, iya. Bicara makhluk halus, reaksi Mursan kecil terhadap upaya penculikan tadi malam cukup unik. Dia menyebut para pria kekar itu sebagai parakang. Aku bisa memaklumi imajinasinya sebagai anak-anak karena mungkin sering mendengar cerita seram, tapi sebutan itu seperti terlalu spesifik. Apakah kakaknya juga diculik orang-orang itu?
Kalau iya, apa berarti yang harus kulakukan agar bisa kembali ke tahun 2019 adalah memburu salah satu orang dalam komplotan pria kekar itu? Tapi siapa?
Bantuanku pada Kakek berakhir ketika kami tiba di tepi jalan raya. Dia berterima kasih. Aku memilih tidak membawakan barangnya lebih jauh, takutnya dikejar pria tegap berpakaian preman lagi.
Kakek memang baik. Meski kubilang membantu secara gratis, beliau masih memberiku selembar uang bergambar Ki Hajar Dewantara. Lumayan. Di garis waktu asliku, ini tak seberapa. Namun, di era ini sepertinya aku bisa makan cukup enak.
Kugunakan uang itu untuk membeli dua botol soda dingin dan sebungkus keripik singkong pedas. Gokil. Botol sodanya masih berwujud kaca. Mungkin bisa kugunakan memecah kepala parakang dalam imajinasi Mursan kecil.