Tak seperti dugaanku, wanita ini tinggal di rumah yang bisa dibilang cukup bagus. Tembok putih sedikit berlumut, tapi secara keseluruhan orang akan mengira penghuninya memiliki taraf hidup mencukupi. Lampu dinyalakan. Aku dan Mursan kecil dipersilakan masuk.
Linda namanya. Perempuan malam berpipi tirus dengan bentuk mata dalam. Bibir tebal berlapis gincu merah sangat kontras dengan bedak tebalnya yang seakan sudah meresap ke kulit. Di tengah perjalanan ke sini, aku sudah memanggilnya tante. Dia tidak protes.
Setelah keluar membawa tiga cangkir teh panas, Tante Linda duduk bersama kami di ruang tamu. Dia tersenyum. Mempersilakanku dan Mursan kecil minum lalu minta maaf karena membuat acara jamuan kecil ini hanya bisa ditemani kacang goreng.
Kurogoh saku celanaku, lalu kuserahkan sebagian uang receh kembalian soda dan keripik pada Tante Linda. “Ini, uang naik petepete yang dibayarkan waktu itu.”
Dia terkekeh. “Buat apa dikembalikan?”
Entah sekadar menghargaiku atau memang butuh, Tante Linda tetap menerima uangnya.
Kami pun mengobrol. Yang lebih banyak bicara adalah Mursan kecil, tak lain membahas tentang alasan kami ke daerah prostitusi adalah ingin memburu parakang. Aneh. Alih-alih tampak jengkel karena Mursan kecil tak hentinya bercerita, Tante Linda justru terlihat sangat senang. Namun, ada detik di mana ekspresi itu berubah menjadi wajah yang ingin menunjukkan kesedihan.
Malam makin larut. Tante Linda khawatir orang-orang yang tadi mengejar masih berkeliaran di luar, makanya dia membiarkanku dan Mursan kecil menginap di rumahnya untuk malam ini. Ada dua kamar. Aku dan Mursan kecil menempati kamar di dekat WC.
Sebenarnya tidak ada yang salah pada kamar berubin abu-abu ini. Mursan kecil bahkan bisa cepat terlelap di atas kasur. Entahlah. Mungkin karena beberapa mainan anak-anak terletak di dekat jendela membuat suasananya agak aneh.
Ah, sial. Aku tidak bisa tidur. Ada banyak hal berkecamuk dalam kepalaku saat ini. Sudah tiga hari aku terjebak di tahun 1998, tapi belum menemukan petunjuk mengenai siapa yang harus aku buru. Si lelaki berkacamata bundar bahkan tidak memberikan petunjuk lebih sebelum menghilang.
Anjir! Wajah putih Tante Linda yang mengintip dari balik pintu membuatku tersentak. Dia tampak galau. Mungkin ada baiknya aku menemani Tante Linda mengobrol. Aku pun keluar. Lampu ruang tamu sudah dimatikan, menyisakan aku dan Tante Linda duduk di antara remang terobos cahaya lampu teras.
“Sekali lagi terima kasih karena sudah menolongku. Hanya ini caraku membalas.”
Aku tersenyum. “Ini sudah lebih dari cukup, Tante. Saya yang harusnya berterima kasih.”
Jika ada yang berpikir ini akan mengarah ke bagian di mana aku berakhir di tempat tidur bersama Tante Linda, maaf saja. Itu mustahil. Bukannya aku merendahkan, tapi penampilan wanita berusia 36 tahun ini sangat jauh dari kata menggairahkan, setidaknya di mataku.
Alih-alih hanya ingin sekadar basa-basi, malah cerita sedih kudapatkan. Terungkap sudah. Alasan Tante Linda menatap Mursan kecil seperti tadi adalah karena teringat putra semata wayangnya yang meninggal akibat kecelakaan empat tahun lalu. Suaminya pun meninggalkannya setelah kejadian itu.
Miris. Ekonomi semakin memburuk membuat Tante Linda terpaksa banting setir dari pegawai kantoran menjadi wanita malam. Rumah ini? Ia bersyukur karena orang tuanya yang mewariskan. Tidak ada andil sedikit pun dari sang suami. Aku tidak terlalu menemukan benang merah ceritanya, tapi tampaknya Tante Linda memang sudah muak dengan Orde Baru.