2017
Hari itu, aku dan teman-temanku masih memakai seragam hitam putih. Kepala kami gundul. Di dalam kelas, kami menunggu dosen sambil berkumpul membahas game dan hobi lelaki lainnya. Aku tidak tahu pembicaraan berjalan berapa lama sebelum akhirnya kami membahas tentang membuat organisasi sendiri di kampus.
“Kalaupun bisa, kalian mau bikin organisasi macam apa?” Aku cekikikan. “Organisasi pemuja paha gadis anime?”
Datanglah perkataan temanku yang sering kuanggap melantur. Waktu itu, kami yang masih mahasiswa baru percaya karena pembawaannya cukup meyakinkan.
“Kakakku pernah cerita, dulu waktu masih kuliah di Kampus Merah, dia pernah disuruh ikut semacam perkumpulan rahasia. Disebut organisasi juga bukan, tapi kegiatannya cukup serius.”
Aku mengernyit. “Memangnya perkumpulan mandiri semacam itu tidak akan kena persekusi senior?”
“Nah, justru itu! Perkumpulannya sudah berdiri cukup lama. Kakakku masuk kuliah 2008 ... tapi perkumpulan itu sudah ada sepuluh tahun sebelumnya. Kalian tahu tujuan awalnya dibuat?”
Kami menggeleng. Di sinilah aku pertama kalinya menganggap temanku itu tukang melantur akibat terlalu banyak nonton teori konspirasi.
Dia menyeringai. “Katanya untuk mencari juru selamat yang akan membantu menumbangkan pemerintahan Soeharto!”
***
1998
Ini bercanda, ‘kan? Sebelas mahasiswa di hadapanku ini bukan perkumpulan itu, ‘kan? Ah, aku tahu! Pasti mereka sedang ingin melakukan pertunjukan seni di tengah aksi. Potongan-potongan koran berita mahasiswa hilang dan gerak-gerik presiden yang tertempel di tripleks dekat ranjang tentu tidak ada hubungannya dengan perkumpulan. Iya ... ‘kan?
Mahasiswa gempal berlutut. Sepuluh mahasiswa lainnya bertindak serupa, kemudian mereka mengucap semacam sumpah mengikuti perkataan si mahasiswa gempal. Oke, sepertinya mereka memang perkumpulan rahasia. Tapi yang benar saja! Aku hanya tidak rajin ibadah, bukan berniat jadi tuhan!
Ini tidak boleh berlanjut. Setidaknya aku harus tahu mereka ini siapa. Kusuruh mereka berdiri. Aku meminta penjelasan.
“Kami adalah SENDOK, Satuan Entitas Nasionalis Desak Orba Kalah. Saudara adalah orang yang kami tunggu, Sang Juru Selamat yang akan membantu menggulingkan pemerintahan kacau ini!”
Perkataan mahasiswa gempal itu disusul sorak teman-temannya. Katanya perkumpulan rahasia, kok berisik? Tapi serius. Salah satu kampus unggulan Makassar pernah punya perkumpulan rahasia seperti ini?
Aku garuk-garuk kepala. “Kalian dapat informasi itu dari mana?”
“Pendiri perkumpulan ini. Sebelum dia hilang, dia mewasiatkan kami untuk menunggu laki-laki bersandal yang datang ke kampus mengamati kegiatan mahasiswa.”
Aku tahu orang-orang di era ini masih mudah percaya dengan hal seperti ramalan. Tapi penjabaran tentang juru selamat itu terdengar terlalu umum. Maksudku, ayolah. Siapa saja yang berjalan kaki di kampus ini pasti tak bisa mengalihkan pandangan dari kegiatan mereka.
Untuk sementara, aku akan mengikuti permainan. Entahlah. Antara takut mereka menghajarku dan tak enak membuat wajah penuh harap mereka berubah menjadi wajah kekecewaan karena mengakui diriku bukan orang yang mereka tunggu.
Baiklah. Perintah pertamaku pada mereka adalah membawaku berkeliling. Bukan hanya di kampus, melainkan wilayah Ujungpandang yang bisa dijangkau dengan kendaraan mereka. Bagaimanapun aku masih harus mencari tahu petunjuk tentang persembunyian parakang di kota ini.
Adalah si mahasiswa gempal itu yang menawarkan diri. Wajar. Dia punya sepeda motor. Kuminta dia melepas jaket almamaternya karena aku yakin perjalanan kami akan diawasi oleh aparat di titik tertentu.