Memburu Parakang

Muhammad Naufal Monsong
Chapter #7

7

Aku sudah mengerti maksud mimpiku. Aku sudah tahu kenapa aku dikirim ke sini. Dalang. Itu yang harus kucari. Parakang targetku adalah pengendali benang tragedi berdarah menjelang lengsernya Soeharto. Tanggal 12 sudah berlalu, dan sesuai garis waktu, empat mahasiswa Trisakti tewas.


Sekarang tanggal 13. Tragedi selanjutnya adalah kerusuhan di Jakarta dan kota-kota lain hingga dua hari ke depan. Akan ada penjarahan dan berbagai kejahatan terhadap etnis Tionghoa. Mustahil. Dengan jarak sejauh itu dan teknologi komunikasi saat ini, tidak mungkin aku mencegah apa yang akan terjadi di Jakarta.


Hari ini cerah. Mursan kecil mengunci pintu rumah lalu berangkat sekolah. Dengan kaos polo abu-abu ayah Mursan dipinjamkan padaku, serta uang receh yang entah bagaimana ada di saku celana ketika aku terbangun, aku berangkat ke Kampus Merah menumpang panasnya angkot.


Berbeda dengan kemarin, kali ini aku berjalan kaki ke asrama perkumpulan SENDOK. Jauh juga. Namun, setelah beberapa hari di era ini, aku sudah mulai terbiasa tak menggunakan sepeda motor. Kuketuk pintu. Tak ada sahutan maupun orang membukakan. Mungkin mereka sedang kuliah?


“Saudara!”


Aku menoleh. Ammang datang dengan kaos hitam bergambar band metal. Terlepas dari tindakan sembrononya kemarin, aku bersyukur dia masih hidup dan dalam keadaan utuh. Tunggu dulu, dia utuh?


“Apa yang terjadi kemarin?” tanyaku.


Ammang menggaruk belakang kepalanya. “Anu ... tentara kemarin menganggap kita terlalu berisik. Pas Saudara ditempeleng, aku langsung kabur. Maaf, nah!”


Oke, sekarang aku berharap dia tidak selamat.


Ammang kemudian mengajakku ke salah satu warung nasi kuning di pemukiman warga. Pandanganku tertuju pada objek di dekat dinding warung. Ada televisi. Ini tahun 1998, jadi modelnya juga masih berbentuk kotak dengan tombol layaknya tuas kompor gas. Sambil menyantap traktiran dari Ammang, aku menyaksikan laporan berita penembakan Trisakti.


Mahasiswa gempal di sampingku tampak geram. Ia berhenti menyantap nasi kuningnya demi mengutuk tindakan aparat. Aku hanya diam. Hatiku dibanjiri perasaan aneh saat menyimak ucapan belasungkawa warga yang disampaikan pembawa berita. Rupanya mendengarkan tentang tragedi itu secara langsung memang berbeda dengan menertawakannya lewat dark jokes di Facebook.


Kuhentikan kunyahanku. “Ammang, apa kau akan percaya kalau kubilang, setelah ini orang Cina di Jakarta akan dibantai?”


Ammang cekikikan melirikku. “Bahkan untuk orang yang disebut Juru Selamat, kayaknya ramalanmu terlalu berlebihan, Saudara.”


Sudah kuduga. Namun, sekalipun dia percaya, memang tidak akan ada yang bisa kami lakukan untuk mencegah hal itu terjadi. Setidaknya di sini aman. Di garis waktu asli, aku tidak pernah mendengar cerita baik dari Kak Mursan ataupun Kakek tentang etnis Tionghoa Ujungpandang kena bantai.


Jika Operasi Meruntuhkan Raja itu bisa diterjemahkan harfiah sebagai langkah menjatuhkan pemerintahan Orba, berarti dalangnya adalah orang yang tidak suka Soeharto terus menjabat. Aneh. Seharusnya dalang semua ini bekerja sama dengan para aktivis.


Sepertinya aku harus mengajak Ammang membicarakan ini di tempat lain.


***


Lihat selengkapnya