Sekarang kami kembali ke rumah Tante Linda. Wanita itu mematikan lampu ruang tamu agar tak ada orang lain yang berkunjung. Remang. Cukup lampu dapur dan lampu kamar jadi penerang. Kini saatnya mendiskusikan hasil eksekusi rencana tadi.
Bukannya meremehkan, tapi informasi dari Mursan kecil tidak terlalu bisa digunakan, maka kami menyuruhnya tidur lebih dulu.
Butuh hampir satu jam bagi Ammang untuk membuat pria kekar di pangkalan benar-benar mabuk. Dua botol tuak. Untung saja si mahasiswa gembul selalu membawa uang lebih. Setelahnya, Ammang kembali mentraktir pria kekar itu untuk jajan dosa. Saat situlah Tante Linda beraksi.
Di dalam kamar, Tante Linda tak serta-merta melayani nafsu sang pria kekar. Melainkan membiarkannya berbaring di ranjang, menggodanya, lalu mulai mengorek informasi. Cukup mengejutkan. Si pria kekar membeberkan rencana titik kekacauan selanjutnya ada di kawasan Kota Cina.
“Tahun lalu memang ada kerusuhan di sana,” ungkap Tante Linda. “Penyebabnya karena ada orang Cina mabuk membunuh seorang anak kecil.”
Ammang memijat dagu. “Begitu, ya? Mereka mau memanaskan emosi masyarakat dengan mengulang tragedi tahun lalu.”
13 Mei 1998. Hari ini kerusuhan di Jakarta sudah dimulai. Jika memang rencana dibeberkan itu benar, maka kekacauan memang diatur agar merambat sampai ke Ujungpandang, ke kota ini. Tugasku memburu parakang. Itu berarti juga harus mencegah kekacauan yang akan dilakukannya.
Namun, kali ini aku buntu memikirkan rencana, maka kuserahkan sisanya pada Ammang. Pokoknya selama tiga hari ke depan, kondisi titik di mana orang etnis Tionghoa tinggal harus aman dari kerusuhan.
“Masih ada lagi.” Tante Linda menyilangkan tangannya, lalu menatapku dan Ammang bergantian. “Pria itu mengatakan di mana para aktivis disekap.”
***
Langit cerah sedikit berawan. Lalu lintas ramai di jam sembilan pagi. Bau tumis bawang. Kota Cina memiliki beberapa rumah makan yang masih beroperasi meski berita kerusuhan telah menyebar. Suara gesekan sutil di atas wajan beradu dengan tawa para pelanggan.
Ammang memang gokil. Terlepas dari krisis moneter tahun ini, dia menggunakan kekuatannya sebagai anak orang kaya untuk mentraktir beberapa keluarga dan teman kuliahnya mencoba menu di rumah-rumah makan itu. Jadi semacam wisata kuliner.
Kudengar salah satu kerabat Ammang pernah mencalonkan diri jadi walikota tapi tidak terpilih. Ya. Aku bisa berasumsi kerabatnya itu orang terpandang. Dengan begini, aku yakin tahap dua Operasi Meruntuhkan Raja akan sulit dilakukan asalkan Ammang mampu mengulur waktu.
Tapi ... bukannya di tempat ini kebanyakan restoran babi? Ah, urusan mereka.
Kulihat Ammang minta izin keluar pada anggota wisata kulinernya, lalu menyeberang menghampiriku. Dia tersenyum. Memberitahuku tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena masih punya kloter traktiran selanjutnya untuk nanti sore. Gila!
Hari ini aku memakai kaos polo milik suami Tante Linda yang dipinjamkan sebelum kami meninggalkan rumahnya. Rasanya agak aneh. Bukan hanya ukurannya yang agak besar, tapi juga perkataan Ammang saat aku sampai ke sini tentang bagaimana dia iri melihatku memakainya. Apa-apaan?
Setidaknya aku lega bisa melihat Ammang juga memakai kaos biasa tanpa jaket almamater, karena hari ini kami akan melakukan sesuatu yang nekat.