Memburu Parakang

Muhammad Naufal Monsong
Chapter #9

9

2002


Di luar hujan. Aku yang bosan menghabiskan waktu dengan bermain mobil-mobilan di ruang tengah. Asyik sendiri. Terus kugerakkan mainan itu, lalu berpura-pura menabrakkannya ke kaki rak televisi, meniru adegan film yang pernah kulihat tapi tak kupahami ceritanya.


“Hm?” Mataku tertuju pada buku besar di baris ketiga rak. Sebuah album foto.


Aku jarang memperhatikannya, lalu tiba-tiba saja menarik perhatianku. Namanya juga anak-anak. Kubuka album foto itu dan menemukan ada banyak wajah tak kukenal. Yang paling mencolok adalah foto sepasang pria dan wanita, wajah datar dengan bayi dalam gendongan wanitanya.


Kakekku baru keluar dari kamar mandi. Ia dengan ramah bertanya aku sedang apa. Kutatap beliau.


“Kakek, ini siapa?” tanyaku sambil menunjuk foto.


Kakek diam sejenak lalu tersenyum. “Mereka orang tuamu, Iswandi.”


Aku belum mengerti istilah orang tua. Kukira itu untuk menyebut Kakek. Maklum. Hari itu aku bahkan baru pertama kali mendengarnya. Kakek kemudian menjelaskan orang tua adalah dua orang yang membuatku hadir di dunia ini. Ayah dan ibu.


Kupandangi foto itu lama-lama sebelum kembali ke Kakek. “Terus di mana mereka sekarang?”


Kakek duduk bersila di sebelahku, lalu mengusap kepalaku. “Mereka sudah ada di surga.”


Aneh. Aku bahkan tidak mengerti maksud Kakek. Namun, ketika aku sekali lagi melihat foto kedua orang tuaku, aku tiba-tiba saja menangis keras. Ayah dan ibu itu apa? Surga itu di mana? Kenapa aku menangis mendengarnya?


***


1998


Suara mesin petepete masih menemani perjalanan. Jalanan lengang. Beruntung posisi matahari belum terlalu condong ke Barat, ditambah laju mobil membuat semilir angin menerobos lewat jendela. Sekarang kami melewati Taman Makam Pahlawan.


Sejujurnya aku berharap nikmatnya angin bisa selaras dengan suasana dalam petepete, tapi ....


Aku tidak yakin apakah misi ini bisa disebut gagal, karena kami telah membebaskan para aktivis terculik. Di saat yang sama, aku juga ragu menyebutnya berhasil karena kakak Mursan kecil tidak berhasil kami temukan.


Sejak tawa kami berakhir setelah menaiki angkot, aku belum mendengar perkataan apa pun dari Mursan kecil. Sekarang dia murung. Ammang memberi isyarat padaku untuk membiarkan anak ini menyendiri sementara waktu.


Namun, bukan hanya itu perhatianku saat ini. Aku sebisa mungkin tidak melakukan kontak mata langsung dengan orang tuaku yang duduk di kursi pojok petepete. Entahlah. Aku merasa aneh. Padahal aku ingat sepanjang hidupku tidak pernah berinteraksi dengan mereka berdua.


Yang lebih aneh karena orang tuaku tak hentinya menatapku. Ayah memegang wajahnya sendiri. Ibu juga cekikikan. Apa ini karena aku mirip dengan Ayah?

Lihat selengkapnya