Malam di rumah Mursan kecil sunyi sebagaimana biasanya. Aku melantai. Kusandarkan badanku di dinding seng menatap lampu rumah yang tidak terlalu terang. Kegelisahanku sekarang rasanya sama seperti saat tidak memegang smartphone sejak terlempar ke tahun ini.
Ucapan Mursan kecil tadi sore benar-benar menggangguku. Kakek adalah orang yang dilihatnya di dekat pangkalan Tante Linda? Tidak. Pasti Mursan kecil salah lihat. Mungkin cuma mirip? Oh, atau bisa saja itu memang Kakek, tapi mereka sedang membicarakan hal lain?
Oke, itu terdengar lebih mencurigakan.
“Kakak, apa benar tadi kita memang memasuki sarang parakang?” tanya Mursan kecil yang baru saja selesai melipat cucian.
Aku tersenyum. “Iya.”
“Terus kenapa tidak ada kulihat parakangnya?”
Bagaimana aku menjelaskannya pada Mursan kecil? Sejak awal, aku juga tidak pernah tahu siapa yang mengatakan kakaknya hilang diculik parakang. Aparat? Ah, tapi pasti akan muncul pertanyaan lain seperti kenapa polisi dan tentara menembaki orang.
“Parakang tidak muncul siang hari,” jawabku.
Mursan kecil manggut-manggut. Berakhirlah interaksiku dengannya malam ini karena dia sudah bersiap untuk tidur. Sementara aku masih di sini, duduk kosong.
Kuperbaiki posisi dudukku agar lebih nyaman. Sesuatu mengganjal di dekat area pantat. Kuambil benda itu. Ah, benar juga. Tadi aku merebut pistol penjaga rumah tahanan aktivis. Sebaiknya aku apakan benda ini?
Sudahlah. Lebih baik kuletakkan ini di bawah lemari. Kumatikan lampu lalu terlelap di dekat tiang.
***
Sorak gembira dan pujian membanjiriku di markas SENDOK. Mereka merangkulku. Menyebutku pahlawan, juru selamat, dan semacamnya. Ya, ini tidak lain karena cerita Ammang tentang suksesnya usaha penyelamatan kemarin.
Hahah ... mungkin tidak buruk juga mendapat pujian ala pahlawan seperti ini. Selama kuliah, aku hanya mendapat kritik dan tatapan tidak enak dari teman setelah mengeluarkan dark jokes.
Kusilangkan tangan agar terlihat seperti orang bijak. Aku mendehem. “Tolong jangan buru-buru gembira. Bisa jadi ke depannya akan lebih sulit.”
Salah satu anggota SENDOK mengangkat tangan. “Juru Selamat, tolong doakan kami untuk aksi tanggal 20 nanti.”
“Iya,” sahut anggota lain, “kami akan melakukan aksi untuk mengenang pengorbanan mahasiswa Trisakti.”
Aku mengangguk. “Akan kudoakan kesuksesan kalian.”
Ini luar biasa. Para mahasiswa beralmamater merah ini benar-benar mendengarkan pidatoku yang hanya memakai kaos hitam milik ayah Mursan kecil. Sepertinya aku berhasil membakar semangat mereka dengan ucapan anti pemerintah dan semacamnya. Ya. Kata kuncinya adalah reformasi.
Setelah temu singkat perkumpulan, Ammang kembali mentraktirku nasi kuning. Kami mengobrol. Ammang menceritakan bagaimana dia diantar kerabat untuk mengambil kembali sepeda motornya kemarin malam ketika jalanan sudah sepi. Kubalas dengan cerita kemujuranku bisa naik petepete gratis pagi ini.