Memburu Parakang

Muhammad Naufal Monsong
Chapter #11

11

Wajahku dipukuli. Perutku ditendang. Serangan yang tidak pernah dilayangkan Kakek sepanjang hidupku malam ini harus kuterima darinya. Hanya dia sendiri. Kakek tidak membiarkan rekan lain mendekat, kecuali dua orang di belakangku yang diperintahkan memegangi tubuhku.


Ah ... benar juga. Demo tahun 2019 juga berakhir rusuh. Inikah yang dirasakan teman-temanku sebelum aku terlempar ke tahun ini?


Jadi, seperti ini ya, rasanya ditendang dengan sepatu lars? Sakit. Kekuatan fisik Kakek dan instrumen kekerasan di kakinya seperti batu bulat menghantam sekujur tubuhku. Tendangan terakhir Kakek mendarat di kiri wajahku. Aku pusing. Pandanganku nanar.


Dua orang di belakang melepasku, dan aku pun terbaring di lantai semen. Aku merintih. Setiap batukku terasa basah. Mungkin itu darah, entahlah. Aku tidak bisa memeriksanya sekarang.


Kukira penyiksaan ini sudah berakhir. Namun, Kakek kembali menyuruh dua orang itu membalik badanku hingga aku tengkurap. Kepalaku diangkat. Kurasakan gulungan kawat menjerat area leher. Aku tidak berdaya. Sepertinya Kakek yang saat ini menginjak badanku dan mencekikku.


“Gara-gara si kurang ajar ini, rencanaku gagal semua!”


Bisa kudengar rekan Kakek yang lainnya tertawa. Sesekali bercanda meminta agar Kakek mengasihaniku sedikit. Tidak dihiraukan. Kakek terus menyiksaku seakan aku ini sungguh tak berharga. Wajar, sih. Dia memang tak mengenalku.


Tuhan ... apakah Kau masih sudi memberi pertolongan pada manusia sepertiku, manusia yang bahkan pura-pura tidak dengar setiap azan berkumandang?


Perlahan, pandanganku mulai berubah aneh. Belum gelap. Hanya saja aku bisa melihat berbagai macam garis dan bentuk beraneka warna. Sepertinya ini sudut pandang orang sekarat. Heheh ... sepertinya memang aku pantas mendapatkannya.


Iswandi Adriansyah. Lahir 12 Februari 1998, dan akan meninggal 15 Mei 1998 dalam usia 21 tahun. Cerita yang cukup aneh, bukan?


Kurasakan jeratan di leherku makin kencang. Namun, sakitnya mulai tidak terasa. Pandanganku mulai samar. Aku mulai tidak mendengar suara apa pun. Halusinasi orang sekarat memang hebat. Aku melihat seorang lelaki muncul dan bertarung melawan tujuh pria kekar di sana. Kemudian semua berubah gelap.


***


“Hah!”


Aku bangun. Jendela kamar sudah diterangi sinar matahari. Aku bisa mendengar suara kompor dimatikan. Ini bukan akhirat. Kudapati diriku berada di atas kasur empuk dalam kamar anak-anak. Tempat ini ... kamar mendiang anak Tante Linda?


Kuraba wajahku. Bengkak di bawah mata dan bagian pipi kiri. Ada perban di pelipis. Perut dan lenganku juga agak sakit. Gila. Aku selamat tapi benar-benar babak belur.


Aku beranjak keluar kamar. Kulihat Mursan kecil sibuk bermain dengan pesawat kecil yang sepertinya dia ambil dari kamar anak Tante Linda. Ammang juga bersamanya. Mereka kemudian menoleh.


“Kakak!” Mursan kecil mendekat bersama Ammang.


Ammang memegang bahuku. “Kenapa ko bangun? Istirahat saja dulu! Lukamu masih parah begitu.”

Lihat selengkapnya