Panas matahari menemani langkahku yang mantap menuju rumah Tante Linda. Agak sakit. Ya, lengan dan perutku masih berdenyut nyeri. Sepertinya inilah yang dinamakan keteguhan. Ini bukan saatnya meratap. Aku masih harus pulang ke garis waktuku. Soal Kakek di masa depan juga bisa kuurus belakangan.
Kubuka pintu. Kudapati Ammang dan Tante Linda di ruang tamu saling melempar canda. Kubiarkan. Aku terus ke kamar anak Tante Linda dan duduk di kasur. Kira-kira strategi apa lagi yang harus kulakukan untuk menuntaskan perburuan ini?
Sejauh ini yang kutahu adalah Kakek berkeliaran di tiga tempat. Dekat rumah, markas militer, dan tempat prostitusi. Ya, aku tahu Kakek pasti juga pergi ke wilayah lain. Namun, pasti ada alasan mengapa tiga tempat itu jadi yang utama.
Perjalanan setelah ini masih panjang. Aku harus hati-hati. Salah satu langkah bisa saja menyebabkan Soeharto gagal lengser dan kejadian di garis waktu asliku berubah.
Setelah Orba berakhir, Tim Gabungan Pencari Fakta akan dibentuk untuk memecahkan misteri kasus para aktivis yang hilang dan juga mengusut kerusuhan. Itu masih lama. Aku harus cepat mengungkapkan kejahatan Kakek pada media sebelum kesempatan itu hilang.
Maksudku, bisa saja setelah ini Kakek melarikan diri ke kota lain, ‘kan?
Ngomong-ngomong soal rumah, aku juga tidak melihat Kakek di sana. Melainkan hanya ada orang tuaku dan anggota keluarga lain yang tidak pernah kulihat. Itu aneh. Bukan hanya dari tempat tinggal, tapi juga dari segi bahasa. Apa mungkin nenek tua itu bercerai dengan Kakek atau semacamnya?
Ammang berdiri di ambang pintu kamar. Dia tersenyum. Aku tidak tahu sudah sejauh mana progres hubungannya dengan Tante Linda dalam waktu sesingkat ini, tapi kelihatannya Ammang sangat gembira.
Mahasiswa gempal itu memanggilku makan karena Tante Linda sudah menyiapkan. Aku hanya mengangguk. Kemudian aku lanjut ke ruang makan di mana mereka bertiga sudah berkumpul bersiap menyantap nasi dan sayur rebung.
Ammang menatapku. “Kau kenapa, Saudara? Kelihatannya serius sekali?”
Kupandangi mereka bergantian. “Ini belum selesai. Aku masih harus memburu parakang itu.”
Mereka bertiga menatapku dalam-dalam, lalu tersenyum menyatakan dukungan. Aku terharu. Tenaga SENDOK, doa Tante Linda, dan usaha besar Mursan kecil, semua dijanjikan padaku.
Persetan jika namaku tidak tercatat dalam sejarah, tapi setidaknya kisah menjadi bagian dalam pemberantasan Orde Baru akan jadi memori berharga bagiku. Tidak .... Bukan hanya itu. Aku juga harus mencari jalan menebus rasa berdosa ini.
***
18 Mei. Sepertinya sudah aman bagiku untuk keluar. Sekarang saatnya menjalankan rencana baru yang kurancang bersama Tante Linda dan Ammang semalam. Mumpung matahari masih tinggi, aku mendatangi satu tempat. Toko bangunan.
Aku meminta salinan nota belanjaan tanggal 11 atas nama Sumirto. Ya, aku tahu. Pemilik toko juga memandang heran karena permintaanku yang aneh dan sempat menginterogasiku. Entah kerasukan sesuatu atau semacamnya, dia kemudian mengatakan akan memeriksa kalau nota itu masih ada.