Malam belum terlalu larut, tapi sudah sunyi. Hanya ada aku dan Mursan kecil di rumah Tante Linda. Membosankan. Ya, itu hanya berlaku untukku yang mulai jengah karena lebih dari seminggu tidak memegang alat elektronik dari masa depan.
Mursan? Seperti biasa, bermain dengan mainan anak Tante Linda di kamar.
Pistol sudah kembali kuselipkan di bawah kasur. Entah mengapa firasatku terus berkata bahwa aku akan menggunakannya dalam waktu dekat. Itu menyeramkan. Seakan benda perak berisi timah itu menyuruhku untuk segera menembak siapa saja.
Ya, aku tahu saat ini sedang terancam. Tapi aku tidak yakin panggilannya untuk orang yang lebih spesifik. Entahlah. Mungkin aku hanya terlalu banyak pikir.
Kudengar ketukan di pintu. Aku ke ruang tamu dan mengintip dari balik gorden. Seorang lelaki kurus paruh baya tampak gelisah di serambi rumah. Dia siapa, ya? Mungkin tetangga, karena aku mendengarnya meminta tolong dan memanggil-manggil nama Tante Linda.
Kubuka pintu. “Kenapa, Pak?”
Lelaki itu ternganga memandangiku dari atas sampai bawah. “Linda mana?”
“Ya ... anu ... lagi pergi kerja.”
Dia kemudian menarik tanganku. “Ah, sudah. Kalau begitu kau saja yang membantuku.”
Belum sempat aku bertanya, aku sudah diseret keluar rumah. Apaan ini? Minimal kasih konteks dululah sebelum menarikku pergi. Mana tatapannya seakan aku ini laki-laki simpanan Tante Linda pula.
Lelaki kurus ini membawaku ke bagian remang lorong yang berkelok-kelok. Dia tak berbicara. Tangannya masih memegangiku. Suara mobil melintas di jalan raya masih terdengar sesekali. Baiklah, perasaanku mulai tidak enak.
“Anu ... saya mau disuruh bantu apa, Pak?”
Tidak ada jawaban. Kali ini langkahnya lebih cepat, membuatku buru-buru melepaskan genggamannya. Sudah kuduga ada yang aneh karena selama ini aku jarang melihat Tante Linda berinteraksi dengan tetangga.
“Kakaaak!” teriakan jauh Mursan kecil membuatku menoleh.
“Mursan!”
Saat aku hendak berlari, pistol ditodongkan di samping kepalaku. Aku berbalik. Ah, sial. Tentu saja semua ini mencurigakan. Lelaki kurus itu ternyata bekerja sama dengan tiga pria kekar rekan Kakek. Kepalaku kembali dibungkus kain hitam. Aku ditangkap lagi.
Kali ini aku tidak banyak melawan. Soalnya percuma. Daripada kepalaku di-dor, lebih baik aku menurut ketika digiring. Ya, situasinya kurang lebih sama. Aku kembali dimasukkan ke dalam mobil. Tak lama kemudian, kudengar tangisan Mursan kecil yang kemudian diam terisak setelah didudukkan di sebelahku.
Sialan! Sialan! Sialan! Tidak hanya tertangkap sendiri, kali ini Mursan kecil juga ikut. Mobil melaju. Dalam gelap, aku hanya bisa mendengar suara mesin dan lalu-lintas di luar.
Sepanjang perjalanan, orang-orang itu tidak berbicara. Rasanya sangat mengganggu. Aku tidak tahu pasti, tapi sepertinya durasi perjalanan lebih cepat daripada ketika aku diculik pertama kali. Mobil pun berhenti di suatu tempat yang lagi-lagi tak bisa kulihat.
Tanah tak berumput. Sepertinya ini tempat berbeda lagi. Gawat! Berapa banyak tempat penyekapan yang mereka punya?