Subuh baru saja berakhir dan matahari mulai mengintip di ufuk Timur. Masih dingin. Belum banyak petepete dan kendaraan pribadi di jalan raya. Kulangkahkan kaki ke rumah yang sampai tadi malam masih jadi tempat persinggahanku.
Pintunya tak terkunci. Tentu saja. Orang-orang semalam pasti tak dapat menemukan kuncinya karena dibawa Tante Linda. Aku terus ke kamar, mengambil pakaian yang susah-susah dibawakan Mursan kecil ke sini. Juga pistol.
Bodohnya aku. Benda perak ini terus berbisik bahwa aku akan menggunakannya dalam waktu dekat. Ternyata itu maksudnya. Namun, tetap saja itu memang terlalu dekat. Air mataku jatuh. Sudah terlambat untuk menyesali kejadian semalam.
Jika ada yang bisa kuyakini sebagai penyebab kami bertiga bisa selamat dari kejadian tadi malam, maka itu adalah doa Mursan kecil, disertai pengorbanan Tante Linda.
Aku tahu masih terlalu dini untuk berasumsi. Bisa saja keajaiban muncul di mana semua tembakan meleset, atau bahkan dia tidak ditembak sama sekali. Namun, sepertinya percuma. Untuk wanita malam, seharusnya dia sudah kembali saat fajar belum menyongsong.
Aku hanya mengenal pemilik rumah ini selama seminggu lebih, tapi rasanya sangat menyakitkan saat kehilangan. Masih kuingat saat dia membayarkan ongkos angkot. Masih kuingat pertama kali minum teh dan kacang goreng di ruang tamu. Masih kuingat sifat keibuannya. Masih kuingat janjinya.
Tante Linda ... adalah orang pertama yang memberiku pertolongan saat terdampar ke tahun ini.
Kulihat matahari sudah semakin menampakkan diri. Kututup pintu. Kupandangi agak lama teras rumah, lalu kutinggalkan. Kini tempat itu telah resmi tak berpenghuni. Tak akan ada lagi dandanan menor yang menyambutku dan Mursan kecil dengan aroma nasi goreng.
***
Masih tak ada hujan di tanggal 19 ini. Aku tiba di satu tempat yang untuk sekarang kuanggap paling aman. Asrama SENDOK. Mursan kecil masih diselimuti lelah akibat ketakutan semalam kini tertidur di kasur mahasiswa pemilik kamar.
Semilir angin pepohonan dekat asrama menyentuhku yang sedang duduk bersama Ammang di lantai teras. Kami tak saling melihat. Masih ada rasa tidak enak dalam diriku.
Aku hanya mendengarkan penjelasan Ammang tentang mobil semalam. Dia meninggalkannya dekat pangkalan Tante Linda, lalu dia sendiri segera kabur dengan sepeda motornya sebelum ada pria kekar lain mengikuti.
“Bagaimana fotonya?” tanyaku.
“Sementara dicuci. Baru bisa diambil nanti sore. Setelah itu akan kubawa ke reporter.”
Sejak Ammang menurunkanku di dekat rumah Mursan kecil semalam, tak lagi kulihat senyum easy going-nya. Tak ada pula wajah malu-malu kucing. Aku bisa maklum. Kehilangan Tante Linda juga berarti kehilangan cinta bagi mahasiswa gempal ini.
“Saudara, apa benar dia orangnya? Dalang dari semua kekacauan yang diberitakan sejauh ini?”
“Ya. Dia sendiri yang bilang.”
“Aku ingin menanyakan ini sejak kau siuman. Bagaimana kau bisa mengenalnya?”