Memburu Parakang

Muhammad Naufal Monsong
Chapter #15

15

Ruangan ini remang. Di sekeliling kami hanya ada tembok abu-abu diterangi bohlam kuning. Ini adalah sebuah gudang pabrik milik salah satu kerabat Ammang. Di tengah ruangan sudah ada pria kekar yang kami tangkap tadi, duduk terikat di kursi kayu.


Kujaga ruangan ini bersama sepuluh orang anggota SENDOK. Ammang pamit padaku untuk mengambil cetakan di tukang cuci foto. Kupersilakan.


Si pria kekar mencoba berontak tapi para anggota SENDOK kemudian mengelilingi dengan memegang berbagai jenis benda tumpul. Tatapanku tajam. Bagaimanapun, bukan si pria kekar target amarahku saat ini. Aku hanya menginginkan informasi darinya.


“Di mana Sumirto?” tanyaku tanpa suara tinggi.


Pria kekar itu membuang muka. Begitu, ya .... Bahkan dalam kondisi terbalik seperti ini, dia masih sempat-sempatnya bersikap di atas angin. Aku yakin dalam pikirannya sedang memikirkan cara untuk melarikan diri atau bisa jadi sekaligus menghabisi kami.


Kumasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Kutatap langit-langit gudang. “Jangan begitulah, Om. Anggap saja ini karma karena Om ikut menyiksa aktivis.”


Masih tak ada respons. Sekarang kembali kutatap wajahnya yang masih enggan menoleh ke arahku, tapi aku lebih santai.


“Yah ... sepertinya dia tidak berguna.” Kulirik anggota SENDOK. “Sudah, habisi saja.”


Pria itu mendadak tertawa dan memandangiku. “Memangnya kalian bisa? Anak ingusan seperti kalian mana mampu membunuh orang!”


Kugaruk belakang telingaku. “Bagaimana ya, Om? Setelah menyiksa kawan dari para mahasiswa ini, kayaknya mereka tidak akan tinggal diam. Maksudku ... dicekik pakai kawat? Wadaw.”


“Gertak sambal,” ucap pria kekar sambil kembali memalingkan muka.


Aku terkekeh. “Ah, benar-benar anak buahnya Sumirto. Bahkan kata-katanya juga persis. Oke, Teman-teman, silakan dieksekusi!”


Aku memang mengucapkan itu seakan tak memiliki rasa empati. Memang. Kubiarkan para anggota SENDOK menghajar si pria kekar yang terikat erat di kursi. Bukan salahku kalau para mahasiswa itu bertindak brutal. Wajah, pundak, perut, kaki ... semua jadi sasaran amukan teman-teman Ammang.


“Bagaimana ‘gertak sambal’ kami?”


Alih-alih meminta ampun, pria kekar ini malah mengucapkan sumpah serapah padaku. Bahkan meludahiku. Aku tetap tenang. Kuberi isyarat pada anggota SENDOK untuk terus melakukan penganiayaan.


Apakah wajar jika aku menikmati melihat penyiksaan ini? Atau mungkin aku hanya sekadar dendam? Sejak hari pertama terdampar di tahun 98, adalah orang ini yang sudah berusaha mengejarku. Entah apa alasannya. Dan entah apa yang akan terjadi kalau aku tertangkap lebih awal.


Kuangkat dagu si pria kekar. “Masih mau?”


Si pria kekar merintih dan terengah-engah. Kini wajahnya sudah penuh darah dan memar biru. “Kalian ... tidak akan lolos dari ini! Menyiksa pihak berwenang adalah tindakan kriminal serius!”


Lihat selengkapnya