Memburu Parakang

Muhammad Naufal Monsong
Chapter #16

16

Salah satu anggota SENDOK datang dengan sebuah laporan. Pintu belakang pabrik terbuka, kemungkinan besar jadi akses masuk si pria penembak. Masuk akal. Kutinggalkan misteri alasan si pelaku melarikan diri lewat pintu depan. Saat ini ada masalah lebih runyam.


Aku dan Ammang masih berdiri di dalam gudang. Hening. Kami fokus pada mayat dekan kepala bolong di tengah ruangan. Rasanya ngeri, tapi aku tidak berpaling. Harus kuapakan tubuh pria kekar ini?


Kuperiksa pakaian si pria kekar dan menemukan dompet. Ternyata benar. Dia memiliki kartu keanggotaan tentara.


“Dia anggota Angkatan Laut,” kataku.


“Kau bilang tadi dia tentara bayaran?” tanya Ammang.


“Maka dari itu. Dia bilang orang-orang tertentu dari tiap unit yang direkrut jadi anak buah Sumirto. Mungkin ada skenario mengadu domba atau menjadikan salah satu unit sebagai kambing hitam. Ternyata di era ini juga ada orang korup di setiap instansi.”


“Di era ini?”


Gawat, aku keceplosan. “Ah, maksudku ... di era Soeharto.”


“Tentu saja! Saudara pikir kenapa mahasiswa melakukan demo kalau bukan muak dengan KKN?”


Benar juga. Dasar bodoh, padahal aku sudah sering lihat meme-nya. Namun, bukan itu masalahnya sekarang. Aku kembali berdiri dan mengantongi dompet si pria kekar.


“Kita sudah membunuh orang,” ucap Ammang lesu.


Aku menggeleng. “Tidak, Ammang. Bukan kita yang membunuhnya. Kau lihat sendiri pelakunya tadi.”


“Tapi tetap saja kita menganiaya orang ini!”


“Apakah aku harus mengeraskan suaraku?” Aku menoleh menatap si mahasiswa gempal. “Pria ini adalah anak buah dari orang yang membunuh sahabatmu!”


Dagu Ammang bergetar. Sejujurnya aku heran. Setelah upaya sembrononya yang mengakibatkan aku ditempeleng di markas militer, sekarang dia malah seakan sangat berdosa melihat salah satu anggota musuh tewas. Ammang kemudian tertunduk lalu beranjak ke pintu.


“Maaf, Saudara. Tapi sepertinya ... kau memang bukanlah Juru Selamat yang diramalkan.”

Lihat selengkapnya