Memburu Parakang

Muhammad Naufal Monsong
Chapter #17

17

Aku ikut ke masjid bersama Ayah. Rasanya aneh. Bukan hanya dari keakraban mendadak dengan orang yang tak sempat hadir menemani keseharianku ini, tapi juga karena lebih dari setengah umurku memang jarang menginjak tempat ibadah.


Dari penuturan Ayah, aku akhirnya tahu bahwa nenek berbahasa asing di sebelahku adalah ibunya Ibu. Wah ... saking lamanya aku tidak bersama mereka, aku jadi tidak ingat kalau pernah punya nenek. Berbahasa daerah pula. Maksudku, selama bersama Kakek, dia hanya mengajakku bicara dengan bahasa Indonesia logat Makassar biasa.


Iqamah dikumandangkan. Aku berwudu, lalu masuk ke barisan jamaah. Perasaan tenang kembali menghampiri ketika aku menempelkan keningku di karpet hijau masjid. Sepertinya ... Tuhan benar-benar merestui perjuanganku meski kini aku sendirian.


Aku kira akan diusir halus setelah selesai salat. Malah sebaliknya. Aku tahu Ayah mulai curiga karena aku sudah menampakkan diri dua kali setelah bertemu dengannya di petepete. Namun, nenek berbahasa darah memaksaku untuk ikut ke rumah.


Aku duduk. Waduh ... ini agak canggung. Padahal ini tempat tinggalku sejak lahir. Interiornya juga tidak berbeda jauh kecuali warna cat dan posisi furnitur. Kamarku bahkan sudah ada, dan dihuni si nenek. Cukup sepi. Lagi-lagi hanya ada mereka bertiga, empat dengan aku yang masih bayi.


Aku tidak yakin, tapi sepertinya si nenek berseru dalam bahasa daerah menyuruh Ibu untuk memasak. Nenek itu duduk. Kini aku bersamanya dan Ayah di ruang tamu, disaksikan oleh kumpulan foto lawas di dinding. Nenek itu bicara, dan Ayah sebagai penerjemah.


Ayah tersenyum. “Nenek mau tahu Adek ini siapa. Apakah keluarga atau memang hanya kebetulan mirip?”


“Ah iya, Pak.” Aku terkekeh. “Kita memang cuma kebetulan mirip.”


“Siapa namanya, Dek?”


“Mardi,” jawabku.


Aku tidak boleh bilang Iswandi. Bisa-bisa aku dianggap punya maksud tertentu meniru nama anak mereka. Pun nama Kakek tidak boleh kugunakan karena berisiko dianggap stalker.


Tunggu ... Kakek?


Waduh! Kenapa aku bisa lupa kalau Kakek juga keluargaku? Itu artinya, dia bisa pulang ke sini kapan saja, ‘kan? Bisa jadi lima menit lagi.


Namun, aku tidak bisa berkutik ketika Ibu keluar membawa sewadah mi instan dan sebakul nasi putih. Gawat. Aku terjebak di sini. Bukan hanya karena aku lapar, tapi karena si nenek juga memaksaku untuk makan.


Baiklah. Sepertinya tidak masalah aku ikut makan. Lagi pula mana mungkin Kakek menyakiti anak, menantu, dan besannya sendiri?


“Jadi, Mardi ini mahasiswa?” tanya Ibu.


Iye,” jawabku mengangguk.


Ayah menghabiskan suapannya. “Aku kagum dengan mahasiswa sekarang. Mereka benar-benar punya nyali untuk mendesak Pak Harto mundur.”


“Cocok,” cibir Ibu. “Tidak kayak kamu, suka cari aman.”


“Eeeh, jangan salah! Jamanku SMA dulu, kasih kritik sedikit saja besoknya kita tinggal nama. Aku kalaupun punya uang untuk kuliah, pasti tetap main aman saja. Tidak cari risiko.”


Aku hanya tertawa kecil. Wadaw .... Ternyata sifat cari aman dan malas ikut demo ini sudah faktor keturunan.

Lihat selengkapnya