Memburu Parakang

Muhammad Naufal Monsong
Chapter #18

18

Aku melangkah pelan di jalanan gelap. Kudengar teriakan. Tetangga telah menemukan jasad keluargaku. Aku peduli setan ketika mereka saling memerintahkan untuk menelepon polisi. Bahkan sebenarnya aku tidak peduli kalau sekarang mereka menangkap dan menuduhku sebagai pelaku utama.


Selama 21 tahun lamanya, ternyata aku hidup dalam kebohongan. Sumirto bukanlah kakekku. Malah dia yang menghabisi orang tuaku, lalu membawaku pergi hingga beberapa tahun kemudian. Untuk apa? Kenapa dia harus membawaku kembali ke rumah tempatnya melakukan pembantaian?


Namun, itu tidak penting sekarang. Dendam? Jelas. Hanya saja saat ini aku ingin menjernihkan pikiranku agar bisa merancang strategi selanjutnya melawan Sumirto. Kubiarkan kakiku melangkah sendiri. Terus saja. Beberapa petepete menepi dan memanggil, tapi aku tidak menoleh.


“Hei, ganteng ... ayo sini kita main.”


Seakan tersadar dari lamunan, langkahku terhenti ketika mendengar panggilan itu. Aku menoleh. Seorang perempuan berpakaian minim dengan rokok di tangannya menyandarkan lengan pada pilar sebuah toko.


Ini ... lokasi prostitusi? Untuk sesaat aku semringah karena berharap bisa bertemu kembali dengan Tante Linda. Namun, percuma. Malam itu memang detik terakhir kami bertemu dengannya, dan dia tidak akan kembali.


Mataku tak sengaja menangkap kehadiran lelaki berbadan gempal berdiri dengan wajah lesu di depan pangkalan Tante Linda. Ammang. Dia menengok dan mata kami melakukan kontak. Ammang menunduk. Kuhampiri dia.


“Aku kira kau kembali ke kampus?” tanyaku masih dilanda kecanggungan.


“Sudah. Aku ke sini hanya karena kangen Tante Linda.”


Kami diam beberapa saat. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi karena kami sudah sepakat tadi sore untuk menempuh jalan masing-masing. Aku pun beranjak.


“Saudara ...,” panggil Ammang mencegah, “maafkan aku.”


Aku masih tak menoleh. Entah ekspresi macam apa yang dibuat Ammang saat ini karena arah kami saling membelakangi. Namun, aku bisa mendengar ketulusannya.


“Mursan menangis. Dia marah karena aku memberitahunya soal kerja sama kita yang sudah berhenti.”


Aku berbalik, lalu berdiri di sebelah si mahasiswa gempal. “Di mana dia sekarang?”


“Dia ada di asrama. Tidak mau pulang sebelum melihatmu lagi.”


Lihat selengkapnya