Memburu Parakang

Muhammad Naufal Monsong
Chapter #19

19

Mataku dan Sumirto saling menatap tajam di dalam embusan angin pelan yang menggugurkan dedaunan. Kukepalkan tangan. Sumirto memerintahkan wanita itu masuk bersama sang bayi. Sepertinya aku dan lelaki kekar itu sama tak ingin membuat keributan. Kami biarkan lelaki yang menegur barusan lewat terlebih dahulu.


“Bagaimana bisa kamu masih hidup?”


“Kau tidak pernah membunuhku sejak awal,” jawabku tenang.


Sumirto mengangguk-angguk. “Sudah saya duga orang semalam cuma mirip.”


Gigiku gemeretak. Bisa-bisanya pria asing itu menganggap enteng permasalahan nyawa yang dia singkirkan. Aku memang suka dark jokes, tapi tindakan Sumirto? Sudah sepatutnya aku curiga dari awal bahwa dia bukanlah keluargaku.


Sepertinya Ammang dan Mursan kecil juga sudah sama geram di balik persembunyian. Sejauh ini, hanya aku yang dilihat Sumirto. Ini bagian dari rencana. Kuberi kode pada mereka berdua agar tak bersikap gegabah.


“Tadi malam kau cuma beruntung. Aku masih punya pasukan yang bisa kupanggil di sekitar sini. Kalau kau masih ingin pulang hidup-hidup, aku masih bisa berbaik hati.”


Jujur saja, aku lumayan gentar. Namun, ini bisa jadi pertarungan terakhirku dengan sang dalang. “Sumirto, sebaiknya kau tidak lari tanggung jawab atas semua kejahatanmu!”


Sumirto menghela napas. “Terus kamu mau apa? Melaporkanku? Kira-kira siapa yang mau percaya omonganmu?”


Dia benar, dan aku sudah tahu itu. Ammang pun sudah mengajukan barang bukti ke reporter, tapi ditolak mentah-mentah. Kalaupun aku bisa melaporkan, aku tidak yakin dia akan ditindak mengingat dia punya kuasa.


Kuambil dua langkah pendek. “Kau bukan tentara. Siapa kau sebenarnya? Untuk apa kau repot-repot menggelar Operasi Meruntuhkan Raja?”


“Oh iya! Saya ingat kemarin mau bicara soal parakang. Siapa yang menyebarkan kabar itu, ya? Saya tidak terlalu mengerti tentang siluman lokal di sini, tapi perumpamaannya cukup kejam.”


“Bacot! Aku cuma mau tahu alasanmu melakukannya. Kalau tujuanmu ingin menjatuhkan Soeharto, harusnya kau bisa bekerja sama dengan mahasiswa!”


Sembari mengonfrontasi kakek palsuku itu, diam-diam kuberi kode pada dua temanku untuk pergi. Rencana dimulai. Sebelumnya aku sudah memberi tahu mereka bahwa ada lorong kedua yang tembus dengan jalan ini.


Sementara Sumirto masih dengan angkuh menyalakan rokoknya. Dia mendekat. “Saya ini pengusaha, tidak terlalu mengerti politik. Ketika lihat rakyat mulai muak dan dengar dari rekan bisnis kalau para anggota parlemen mulai merencanakan pengkhianatan, saya pikir itu menarik. Di situlah saya masuk, melakukan siasat.”


“Jadi, kau merekrut aparat untuk menculik dan membunuh orang, hanya untuk kepuasan batin?” Aku menggeleng dengan mata menyipit. “Psikopat.”


“Ayolah, membuat kambing hitam dalam zona kekacauan adalah hal yang wajar, ‘kan?”


Sumirto melangkah mundur dengan pelan. Dia masih tersenyum. Aku tahu maksudnya. Dia tidak ingin menarik perhatian si wanita menggendong bayi dalam rumah. Kemungkinan besar dia juga hendak menuntunku ke titik di mana dia bisa memanggil antek-anteknya.


Namun, ini hasil penalaranku. Jika Sumirto berani membongkar motifnya, berarti di lorong ini tak ada siapa-siapa kecuali dirinya dan si wanita, juga pria yang menegurku tadi. Mungkin para penghuni sekitar sedang diterjunkan untuk menjaga kondisi Lapangan Karebosi. Sempurna. Aku menyeringai membuat Sumirto mengernyit.

Lihat selengkapnya