2010
Menjelang sore itu baru aku yang hadir di depan warung Kak Mursan. Belum kulepas seragam SMP-ku karena kebetulan baru pulang. Kubeli wafer cokelat sembari menunggu. Manis. Renyah. Makanan ringan enak untuk menaikkan mood-ku sebelum memulai pembicaraan.
“Jadi, kakakmu benar-benar tidak pernah ditemukan, ya, Kak Mursan?”
“Iya,” jawabnya sembari fokus mengatur dagangan. Sesaat kemudian, ia tersenyum.
“Tapi ... aku punya cerita hebat lain di balik pencarian itu. Cerita tentang bagaimana aku bersama tiga orang luar biasa berjuang membebaskan orang lain dari cengkeraman parakang.”
Aku masih mengunyah wafer ketika Kak Mursan keluar warung dan menoleh padaku. Wajahnya bangga. Bisa kutebak ceritanya itu sangat berkesan dari nada penyampaiannya yang tak seperti biasa. Lebih natural.
“Bisa kaubayangkan? Aku yang waktu itu masih kecil berjuang bersama seorang perempuan baik hati, mahasiswa kaya, dan laki-laki yang bahkan tak pernah kutanyakan namanya.”
“Apa yang terjadi pada mereka?” tanyaku.
Pandangan Kak Mursan menerawang ke langit. “Perempuan itu mengorbankan dirinya. Si mahasiswa kaya kembali ke kampusnya. Sedangkan laki-laki tak bernama itu ... pergi dan menghilang begitu saja seakan tugasnya memang sudah selesai.”
“Pada akhirnya, aku tidak pernah tahu apa yang kami lawan itu benar-benar parakang atau bukan. Tapi laki-laki tak bernama itu meyakinkan kami kalau perjuangan kami tidak sia-sia. Ternyata benar. Besoknya Indonesia ganti presiden.” Kak Mursan kemudian tertawa.
Jujur saja, aku sama sekali tidak mengerti tentang perjuangan, politik, dan ganti presiden. Aku tidak tahu lucunya di mana. Maklum. Aku masih SMP. Andai uangku berlebih, mungkin hari itu akan kuhabiskan buat ke warnet. Alasanku bertahan di warung adalah cerita itu masih terdengar hebat.
“Terus orang yang Kakak lawan bagaimana?”
“Jangan bilang-bilang, ya!” Kak Mursan sedikit membungkuk mengecilkan suara. “Mungkin cuma kebetulan, tapi kakekmu sangat mirip dengannya.”
Aku hanya tertawa. Kak Mursan hanya merespons dengan ikut cengengesan. Lalu kemudian, ekspresinya berubah terkejut. “Aku jadi ingat. Laki-laki tanpa nama itu menitipkan pesan tentangmu.”
Alisku terangkat. “Aku?”
Kak Mursan diam. Mungkin dia sedang mencari padanan kata yang tepat agar terdengar masuk akal. “Dia menyuruhku menjaga anak yang tinggal di sebelah rumahku. Kebetulan kau orangnya.”
Temanku belum datang, tapi obrolan sore itu harus berakhir. Kakek yang baru pulang kerja menyeru dari pagar rumah agar aku berganti pakaian. Kak Mursan tersenyum. Dia menyapa Kakek sebelum mempersilakanku beranjak.