MEMELUK BAPAK, kalau tak salah ingat, terakhir kali kulakukan ketika aku masih kanak-kanak, dan itu terjadi sekitar delapan belas tahun yang lalu, tepat pada saat dia mendekam di penjara.
Saat itu aku memang belum terlalu paham apa-apa. Hanya saja, masih tergambar di ingatanku kalau aku memeluknya erat, sebagaimana dia memelukku erat sambil tersedu. Air matanya membasahi pundakku yang kecil. Sesenggukannya terekam dalam memori ingatanku. Diusap-usapnya kepalaku dengan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pelukan kami terlepas karena waktu besuk sudah habis dan seeorang, yang bertahun-tahun kemudian aku baru tahu dia adalah sipir penjara, membawa Bapak kembali ke dalam sel.
“Ayo pulang…,” kata Ibu sambil menggandeng tanganku.
“Ayo pulang,” ulangnya, “kita sudah ditunggu Pak Trisno.”
Lalu, aku dan Ibu pulang naik carteran mobil yang dikendarai Pak Trisno, kembali ke kampung, kembali dalam keadaan terngungun. Setelah itu, aku tak pernah lagi diajak Ibu membesuk Bapak. Katanya, selain memakan biaya lebih banyak, aku juga mudah mabuk perjalanan. Meskipun aku menangis, meraung-raung, ingin ikut, Ibu tetap tidak mengajakku.
Setelah itu, aku tak tahu lagi caranya memeluk Bapak. Rasanya, semakin hari, dia semakin jauh, semakin jauh, dan semakin jauh. Jangankan memeluk, yang aku tahu bahwa pelukan kerap kali dimaknai sebagai sebuah keakraban yang lebih intim, berbicara dengannya saja rasanya sangat berat. Setiap kali aku ingin membicarakan sesuatu kepadanya, kata-kata itu urungkan, aku telan kembali ke kerongkongan paling dalam.
Di sini, di rumah sakit ini, aku kini hanya memandangi Bapak meringkuk dengan tubuhnya yang kering. Beberapa kali dia memanggil namaku dan aku hanya menjawab sekenanya. Aku masih belum tahu cara memulai tindakan yang tepat untuk kami saling akrab. Kami sudah lama tak tak saling bicara sebelumnya. Kami jarang sekali berjumpa.
Bapak mendapatkan kamar Unit Rawat Inap Paru-Paru, setelah beberapa jam berada di IGD. Ruangan ini terasa tenang dan memiliki pencahayaan yang lembut. Aku merasa lega karena setelah Bapak mendapatkan kamar ini, artinya aku bisa lebih rileks. Tidak seperti di IGD tadi. Meski begitu, aku masih merasakan bau antiseptik yang kurang nyaman menurut indra penciumanku. Bau ini selalu mampu membuatku mual dan merasakan kehampaan sekaligus. Beberapa kali aku berkunjung ke rumah sakit, dan bau ini, bau antiseptik, bau ruangan orang-orang sakit, rasanya masih sama seperti dulu. Bau-bau kemurungan bagi setiap orang yang menghirupnya.