“… TAPI aku mau kuliah, Pak. Aku mau merantau.” Kataku pada Bapak pada suatu pagi sebelum ia berangkat ke warung kopi.
Cukup lama dia terdiam. Dia bahkan tidak menatapku sama sekali. Pandangan matanya ke arah sesuatu yang jauh.
“Kamu jangan ikutan anak orang-orang kaya itu. Bapakmu ini tak punya uang untuk biayai kuliahmu!”
“Aku mau cari biaya sendiri.”
“Tidak segampang itu cari uang!”
“Tapi aku tidak mau seperti ini terus-terusan.” Aku memberanikan untuk bilang begini. Ini sudah kupikirkan matang-matang.
“Pokoknya Bapak tidak setuju kamu kuliah. Titik. Tidak bisa ditawar!”
Selalu begini. Bicara dengan bapakku adalah seperti bicara dengan batu. Alot. Keras. Yang keluar dari mulutnya adalah ‘pokoknya’, suatu kata yang pasti dan tidak bisa diganggu gugat. Lalu yang terdeteksi dari matanya adalah pelototan tajam. Semenjak Bapak berubah, dia jarang sekali bicara baik-baik denganku. Itulah yang membuatku malas bicara dengannya. Dia tidak pernah memberi alasan panjang kenapa aku harus seperti ini, harus begini, dan tidak boleh seperti itu, tidak boleh begitu. Dia juga tidak memberikan aku solusi apa pun kalau misalnya tidak setuju atas pilihanku.
Sebenarnya, soal kuliah ini aku bisa saja diam-diam pergi dari rumah, dan hanya minta izin pada Ibu. Tapi, ibuku adalah seorang ibu yang kelewat taat pada Bapak. Dia tak punya pendapat apa pun di rumah ini. Apa-apa tergantung pada peraturan Bapak, meskipun jadinya berantakan.
“Coba bilang pada bapakmu dulu. Ibu tidak bisa memberi izin kamu tanpa sepengetahuan bapakmu.” Kata Ibu beberapa hari sebelumnya.
“Pasti tidak boleh. Bapak, kan, selalu seperti itu.”
“Iya, tapi dicoba dulu.”
Aku mendengus. “Aku maunya tidak perlu izin Bapak. Aku mau pergi dari rumah ini tanpa sepengetahuannya. Biar Ibu saja yang tahu aku mau ke mana.”
“Kamu ini diberi tahu orangtua, kok, tidak manut.”
“Bukan begitu, Bu, tapi ini …” Aku tidak melanjutkan kalimatku. Aku paham keluarga ini miskin dan karenanya, apa-apa yang berkaitan dengan sesuatu yang membutuhkan biaya, pastilah jadi rumit. Benar-benar rumit.
“Bukannya lebih enak di sini. Di kampung saja. Nemani Ibu dan Bapak.” Ibu memberi penjelasan yang aku sudah tahu maksudnya apa. Ya, aku adalah anak kedua dan sekaligus anak terakhir yang seharusnya menempati rumah ini. Akulah yang kelak akan hidup bersama mereka. Ibu pasti menyuruhku di kampung saja sambil merawat tegalan (ladang) sambil memelihara sapi, kambing, dan ayam. Ya, seperti pada umumnya orang-orang kampung sini.
“Tapi, Bu, ini adalah kesempatanku.”
Ibu melihatku dengan mata yang sayu. “Iya, kalau begitu coba kamu bilang dulu pada bapakmu.” Ucapnya sekali lagi. Dan itu membuatku lemas. Dan itu membuatku berpikir lebih lanjut tentang alasan apa yang harus kupakai untuk minta izin pada Bapak. Dan itu membuatku benci, sebab aku tahu antara aku dan Bapak sudah jarang bicara dengan baik-baik. Hampir selalu ada emosi di sana. Dan itu membuatku menghela napas berkali-kali. Dan…
* * *