ORANG LAIN adalah neraka, begitu kata Sartre. Dan orang lain itu termasuk bapakku. Sepanjang aku hidup, entah sudah berapa kali dibuat marah, sedih, dan kecewa, akibat ulahnya. Dan itulah kenapa aku sering ingin pergi dari rumah. Seandainya tidak karena keberadaan ibuku, aku sudah pergi jauh-jauh hari.
“Mau jadi apa anak itu. Apa tidak sadar kalau dia anaknya wong cilik. … Mimpinya ketinggian.” Kudengar Bapak bicara pada Ibu di ruang tamu. Dengan jelas dia mengatakan seperti itu, seolah-olah aku tidak mendengarnya. Dia pikir aku sudah tidur. Atau memang dia melakukannya dengan sengaja agar aku mendengarnya?
“Dia pikir enak di perantauan? Bapak ini sudah bertahun-tahun di perantauan.”
Suaranya terjeda. Entah apa yang dia kerjakan. Tebakanku pasti dia sedang menyulut rokok.
“Bapak sudah tahu kalau lulusan perkuliahan tidak menjamin apa-apa. Bapak sudah ngerti anak-anak sekarang yang kuliah itu… banyak nongkrongnya. Sarjana di luar sana banyak yang nganggur.”
Aku yakin, Ibu tidak akan mengeluarkan pendapat apa pun. Dia selalu begitu. Selalu takut di hadapan Bapak. Ketika mereka bertengkar, Ibu adalah orang yang paling menderita. Dia tidak bisa apa-apa selain menangis. Lalu di balik itu, ketika Bapak sudah keluar dari rumah, dia baru mengeluarkan semua unek-uneknya padaku. Tidak hanya itu, dia juga mengeluarkan kemarahannya padaku. Selalu aku. Telingaku adalah tempat paling mudah untuk mendengarkan keluh kesah orang lain ketimbang keluh kesahku sendiri.
“Mentang-mentang punya uang dari jual kambing, lalu bisa hidup enak di perantauan? Uang segitu di kota tidak cukup dipakai satu bulan.” Bapak memang cerewet sekali di hadapan Ibu. Dia sepertinya punya banyak stok kalimat untuk dikeluarkan. Begitu juga ketika dia berhadapan dengan orang lain, teman tongkrongan, misalnya. Dia tipe orang yang banyak bicara sebenarnya. Dan itu berbanding terbalik ketika berhadapan denganku. Dia dingin seperti kutub utara. Sedikit bicara, tapi sekaligus banyak durinya.
Uang hasil penjualan kambing seharusnya tidak perlu Bapak bicarakan. Itu toh kambingku sendiri. Dari sekian lama aku menggembala kambing, aku cuma kebagian satu ekor. Dan itu aku jual di saat waktu yang tepat. Lagi pula, uangnya tidak kuhambur-hamburkan. Tidak kubelikan sesuatu yang percuma. Aku rasa Bapak berlebihan, dan memang seperti biasanya dia kerap berlebihan padaku.
Aku sengaja keluar kamar, ingin ke kamar mandi. Keheningan menyelimuti rumah ini. Aku tidak bicara satu patah kata pun pada mereka, dan mereka juga tidak memanggilku sama sekali. Aku sudah membulatkan tekadku kali ini. Aku tidak boleh kalah dalam bernegoisasi. Kalau seandainya sampai dua minggu mereka kukuh pada pendapat mereka, aku akan pergi tanpa permisi.
Selepas dari kamar mandi, kulihat di ruang tamu hanya ada Ibu. Pintu rumah terbuka dan aku mengira Bapak pasti sedang duduk di teras. Itu sudah menjadi kebiasaannya. Mengisap rokok dalam-dalam, sambil entah melamunkan apa.
“Sudah makan tadi?” Tanya Ibu dengan raut wajah sedih. Atau kecewa?
Aku menghela napas. Memberi jeda barang sebentar, menurunkan sedikit ego, dan kemudian bilang, “Sudah, Bu.”
Ibu tidak berkata apa-apa lagi selanjutnya dan aku kembali ke kamar dan meninggalkan Ibu sendiri di ruang tamu. Sejak dulu, hanya Ibu sebenarnya yang tahu perasaanku. Dia yang tahu sifatku. Dia yang tahu bagaimana caraku bersikap ketika sedang marah, sedih, dan kecewa seperti ini. Ibu membiarkan aku berdiam diri beberapa hari ini bukan karena marah padaku. Tentu, dia sedang memberi waktu anaknya meredakan emosi.
Malam ini tiba-tiba perasaan bersalah itu turun, mengguyur tubuhku sampai basah kuyup, tepat ketika aku telentang di kasur dan menatap lampu kamar. Ibu… ya, Ibu adalah orang yang paling bersedih atas kondisi ini. Tidak sepatutnya aku bersikap berlebihan begini.
Perlahan air mataku menggenang. Tapi aku tak tahu, apa yang sebaiknya bisa kulakukan. Ini aku seperti berada di jalan buntu.
* * *
“JALAN BUNTU, Janu. Kita harus balik!” pekik Ariza, salah satu teman SMA yang paling akrab denganku. Saat itu kami motoran ke kota demi menonton konser Iwan Fals dan aku yang memboncengkannya. Konser ini sangat susah kami lewatkan. Selain tiketnya gratis, kami juga merasa ini momennya sangat langka. Kapan lagi Iwan Fals mampir ke kota kami?
“Santai saja. Kita masih bisa belok kiri lewat jalur lain.” Balasku sebagai bentuk menenangkan dirinya, dan mungkin juga ini sebagai bentuk untukku menenangkan diri sendiri.
“Kita serius mau lewat jalan seperti ini?”
“Tapi kita tidak mungkin balik, Za. Motormu bisa ditilang nanti.” Benar memang. Kami masuk gang ini adalah untuk menghindari tilangan polisi. Di antara kami tidak ada yang punya sim. Ariza tidak bawa STNK. Dan ini yang paling krusial, motor yang kami tunggangi ini spionnya tinggal satu dan kami juga tidak ada yang membawa helm (tentu, bagi orang kampung seperti kami saat itu, naik motor pakai helm rasanya aneh).
“Kamu yakin kita bisa sampai kalau lewat sini?”
“Tidak tahu.”
“Duh!”
Kami pun tetap belok ke kiri, lewat pematang sawah yang di tepinya ada selokan kecil. Dilihat dari kondisinya, tampaknya jalan ini pernah dilewati kendaraan. Aku yakin itu.
“Kalau kita ke utara terus, kita akan sampai jalan Pantura, Za.”
Ariza tidak menanggapi omonganku. Tampaknya dia sudah pasrah. Baguslah kalau begitu. Lagi pula, nonton konser ini juga idenya dan dia yang paling antusias. Sebelumnya, aku tidak pernah nonton konser. Aku tidak begitu familiar dengan tontonan seperti ini. Seandainya bukan karena Iwan Fals, rasa-rasanya aku akan menolak ajakannya. Sedikit banyak, aku tahulah tentang Iwan Fals. Meski yang kuhafal benar dari lagunya hanya yang berjudul “Ibu”.