Memeluk Bapak

Daruz Armedian
Chapter #4

3

“SENDIRI saja kamu ke Jogja nanti?” tanyaku pada Inaya pada suatu siang setelah kami mengambil ijazah sekolah. Dia teman kelasku yang lulus pendaftaran kuliah jalur undangan di UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), salah satu universitas di Jogja.

“Sepertinya iya, Janu. Soalnya hanya aku kan yang keterima di Jogja. Tapi aku juga tidak tahu, sih. Mungkin ada dari kelas lain yang keterima di sana juga.” Jawabnya sambil bersiap-siap untuk pulang.

“Maksudku, kamu ke Jogja sendirian saja? Tidak diantar siapa pun?” Aku memperjelas pertanyaanku.

“Oh …, diantar ayahku.”

“Hmm.” Aku angguk-anggukan kepala.

“Gimana?”

“E … Aku cuma tanya saja.”

“Kamu beruntung, Inaya.”

“Maksudmu?” Tanyanya sambil tersenyum.

“Oh, tidak, tidak. Semoga lancar ya sampai sana.”

Inaya diam untuk sejenak.

“Iya, Janu. Aku beruntung sekali bisa keterima di UNY. Soalnya Jogja adalah kota impianku. Sejak dulu aku pengen banget kuliah di sana. Entah di UGM (Universitas Gajah Mada), UNY, UIN, terserahlah, pokoknya yang ada di Jogja.”

Maksudku bukan seperti itu. Inaya sangat beruntung punya seorang ayah yang mendukungnya. Padahal dia perempuan. Ah, aku tidak sedang mengecilkan perempuan. Tapi di kampung kami, perempuan jarang sekali diberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Ayah Inaya tampaknya adalah seorang ayah yang punya pikiran terbuka. Dia juga sepertinya tipe seorang yang percaya pada anaknya.

“Kamu hebat, Inaya.” Ya, akhirnya hanya ini yang keluar dari mulutku. Aku tidak mau mengutarakan maksudku yang sebenarnya.

“Eh, ngomong-ngomong, kamu ikut daftar tes tulis tidak? Mumpung waktunya masih ada. Habis itu nanti pasti ada tes mandiri juga. Kayaknya masih banyak kesempatan untuk lanjut kuliah.” Inaya bilang begini karena dia tahu aku tidak lulus di jalur undangan.

“Aku pikir-pikir dulu. Soalnya aku juga bingung mau pilih jurusan apa.” Kilahku. Tentu saja, aku belum bilang pada orangtuaku terkait kuliah ini. Soalnya, bahkan ketika aku lulus SMP pun, mereka keberatan untuk menyekolahkanku ke SMA. Pilihannya adalah aku disuruh bantu-bantu bekerja saja. Apalagi lulus SMA ini? Pasti aku juga akan disuruh di kampung saja. Bantu-bantu kerja.

“Itu, sih, kayaknya lebih enak kalau kamu daftar di jurusan yang sekiranya nanti membikinmu nyaman. Paling tidak yang sesuai dengan skill yang kamu bisa sekarang.”

“Iya. Nanti kupikirkan.”

Kami pun berjalan menuju parkiran. Sambil jalan, dia bilang, “Kalau aku jadi kamu, aku akan lanjut kuliah. Soalnya sayang sekali, kamu kan bisa banyak hal.”

Aku hanya terdiam.

Kami pun berpisah tanpa ada lagi pembicaraan.

 

* * *

 

PEMBICARAAN dengan Inaya beberapa waktu yang lalu melintas di kepalaku. Sepertinya memang aku harus nekad pergi dalam waktu dekat-dekat ini. Baik bapak dan ibuku mengizinkan ataupun tidak. Aku harus berani mengambil jalan hidupku sendiri.

Esok paginya, aku menurunkan egoku dan mulai mengajak bicara Ibu. Bicara seperti biasanya, hal-hal remeh yang membikin kami kembali seperti sedia kala, tidak ada yang saling mendiamkan lagi. Setelah semuanya benar-benar mereda, aku bilang baik-baik kalau besok aku harus ke Jogja.

Ketika Ibu bilang apakah Bapak sudah membolehkanku, aku menjawab, tidak perlu dapat izin dari Bapak. Aku pokoknya harus pergi dulu dari rumah ini, ke Jogja yang adalah kota pilihanku. Inaya bilang, kota ini paling cocok untukku. Bukan, aku bukan bermaksud ingin bertemu Inaya di sana. Dia toh hanya teman yang kami sebetulnya tidak terlalu akrab. Hanya saja, kurasa Inaya adalah orang yang tepat kudengarkan omongannya.

Ibu hanya pasrah. Kulihat wajahnya tampak bersedih. Atau kecewa? Tapi yang keluar dari mulutnya kemudian adalah, “Terserah kamu mau ke mana. Yang jelas, Ibu hanya bisa mendoakanmu.”

Mendengar itu, aku sedikit lega.

“Kalau jadi berangkat besok, apa yang harus kamu siapkan sekarang?”

Lihat selengkapnya