“TUJUANKU kuliah sih sebenarnya cuma biar ayahku seneng aja. Beliau pengen banget anaknya bisa jadi sarjana. Sarjana dari jurusan apa pun itu,” kata Syaqila ketika kami kerja kelompok membuat makalah filsafat. “Ya meskipun kita tahu sebenarnya bagi beberapa orang jadi sarjana itu tidak penting.”
“Bagi beberapa orang penting banget, Syaqila,” timpal Anggara.
“Aku tadi bilang bagi beberapa orang, Ga.”
Kami bertiga adalah mahasiswa Filsafat UIN (Universita Islam Negeri) Sunan Kalijaga. Syaqila dan Anggara sebelumnya sudah saling mengenal, dan mereka tampak akrab. Mereka sudah sering bersama sejak masa orientasi pengenalan mahasiswa. Aku di sini yang bisa dibilang baru mengenal mereka. Seandainya kelompokku bukan mereka, mungkin saja aku tidak akan di sini sekarang: bertemu di sebuah kafe, yang terasa asing bagiku.
“Tapi kamu nggak nyesel, kan, masuk jurusan Filsafat?” tanya Anggara, “Filsafat UIN lagi.” Tambahnya sambil terkekeh.
“Untuk sekarang belum, sih. Nggak tahu nantinya gimana. Lagian, aku juga nggak tahu keahlianku di bidang apa. Hehehe. Ya itu tadi cuma pengen bikin ayahku seneng aja aku kuliah. Beliau juga nggak keberatan aku kuliah di mana. Beliau selalu mendukung pokoknya.”
Entah kenapa aku tersenyum-senyum sendiri. Sambil mendengarkan Syaqila, aku membayangkan seandainya bapakku seperti itu.
“Nggak pengen gitu misalnya ke UGM, UNY, atau UII (Universita Islam Indonesia), misalnya? Atau ke Sanata Dharma, UAD (Universitas Ahmad Dahlan), UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), atau bahkan ke ISI (Institut Seni Indonesia)?” Lagi-lagi Anggara melempar pertanyaan.
Syaqila mengambil minumannya. Sebelum benar-benar meminum, dia bilang, “Saat ini nggak pengen.” Lalu dia minum coffe late di cangkir yang sudah dia pegang.
“Kalau kamu, Janu? Kok bisa kamu kuliah ngambil jurusan Filsafat?” Kali ini pertanyaan itu dilontarkan padaku. Aku menebak-nebak, Anggara ini orangnya mudah bergaul. Tampaknya dia juga punya kemampuan verbal yang bagus.
“Tidak tahu, ya. Waktu itu alasanku cuma biar bisa tinggal di Jogja dulu,” kataku sambil membenarkan posisi dudukku, “paling tidak kalau ibuku tanya aku ngapain di Jogja, aku punya alasan.”
Anggara tersenyum, begitu juga Syaqila.
“Tapi kenapa filsafat?” Telisiknya.