“TIDAK ADA APA-APA. Semuanya akan baik-baik saja,” ucapku dalam hati, menguatkan diri, dan mencoba menerima peristiwa apa pun yang menimpaku. Aku berusaha untuk tidak membuat apa yang kualami ini sebagai beban.
Ini adalah hari kedua aku menemani bapakku di rumah sakit. Dokter bilang bapakku mengidap Bronkitis dan kondisinya sedang drop. Ini penyebabnya mungkin karena Bapak terlalu banyak mengisap rokok, ditambah lagi kondisi rumah yang sering berdebu, ditambah lagi dia sering membakar rumput kering sisa-sisa makanan kambing di samping rumah. Atau mungkin penyakit ini memang karena ada virus menempel di paru-parunya. Aku tidak terlalu paham soal ini. Tetapi yang jelas, Bapak untuk beberapa hari memang harus menginap di sini.
“Aku cari makan di luar dulu, ya, Pak,” kataku pada Bapak yang kebetulan sedang terjaga. “Nanti kalau misalnya ada dokter, biar mereka menghubungi nomerku.”
“Iya,” jawab Bapak sambil mengangguk. Suaranya lirih.
Lorong rumah sakit mulai ramai pagi jam sembilanan ini. Sesekali terdengar langkah kaki dan deru pelan roda tempat tidur pasien yang didorong perawat. Aroma khas antiseptik menyeruak, memberikan kesan steril tapi sekaligus menimbulkan perasaan aneh.
Di sebelah kiri, terlihat deretan pintu kamar rawat inap dengan nomor-nomor tertempel rapi di atasnya. Ada jendela kecil di setiap pintu, tempat terlihat sedikit bayangan orang-orang yang beraktivitas di dalam kamar.
Sesekali, suara monitor jantung atau alat-alat medis lainnya terdengar samar dari balik pintu-pintu itu. Beberapa kursi tunggu terletak di sudut, tempat seorang keluarga pasien duduk, ada yang tampak lelah namun penuh harap, ada yang tampak cemas, ada yang tampak ketakutan yang bercampur kesedihan. Lorong ini panjang dan lurus, seperti tidak ada ujungnya, seolah ingin menunjukkan bahwa di sinilah batas tipis antara hidup dan mati, antara kesembuhan dan rasa sakit, antara harapan dan keputusasaan.
Meskipun sudah beberapa kali aku ke rumah sakit, tetap saja rasanya ada sesuatu yang mengganggu, seperti rasa kosong di kepala, seperti rasa sesak di dada.
* * *
“DADA saja, Mbak,” kataku pada kasir Rocket Chicken ketika dia bilang, ayamnya baru tersedia dada lembut dan paha atas. Pilihanku ke Rocket Chicken adalah karena tempat makan ini yang paling dekat dengan rumah sakit. Tidak ada alasan selain itu.
Setelah membayar dan mendapatkan makanan, aku mencari tempat duduk. Menaruh makanan di meja dan kemudian pergi ke wastafel untuk cuci tangan. Aku kembali ke tempatku dan makan dengan malas. Kalau bukan karena khawatir perut sakit, aku sebenarnya tidak perlu makan. Ini hanya soal mengganjal perut saja.
Rocket Chicken masih sepi, dan memang ini baru dibuka. Tetapi, aroma ayam goreng sudah memenuhi ruangan. Lantai keramiknya bersih dan mengkilap seperti baru saja dipel. Meja-meja kayu tertata rapi di sepanjang ruangan.
Beberapa saat kemudian datang seorang laki-laki paruh baya bersama seorang gadis kecil. Setelah mendapatkan makanan, mereka duduk pada jarak satu meja di depanku. Tampak gadis kecil itu sangat berbahagia melihat ayam krispi ada di depannya. Tampaknya dia juga sangat berbahagia ditemani laki-laki yang beberapa kali dipanggilnya “Ayah” itu. Aku tahu, si ayah itu hanya memesan ayam krispi untuk anaknya. Dia tidak ikut makan, hanya memandangi putrinya yang begitu lahap mengunyah makanan.
“Ayah tidak ikut makan?” tanya gadis itu dengan suara yang lucu.
“Ayah sudah kenyang. Nanti saja kalau Ayah laper, satu ayam utuh akan Ayah makan,” timpal ayahnya sambil tangannya memperagakan gambaran ayam utuh dan mulutnya menganga kemudian mengecapkan mulut, menggembungkan dua pipi, seolah-olah sedang mengunyah banyak sekali makanan. Mereka tertawa dan aku tersenyum melihatnya. Betapa seorang anak akan selalu bahagia jika mendapatkan perhatian penuh oleh ayahnya.
Bagaimanapun, aku juga pernah sangat bahagia bersama bapakku di waktu kecil. Bapak sering mengajakku pergi ke sebuah jembatan di kampungku yang di bawahnya ada sungai mengalir. Tidak jauh dari jembatan itu, ada bendungan yang menggemericikkan air. Kata Bapak, jembatan adalah penghubung jalan. Kalau tidak ada jembatan, kita akan kesulitan jika mau melewati sungai. Di situlah aku selalu diberi cerita macam-macam.
Banyak sekali cerita yang diutarakan, sehingga banyak juga yang aku lupakan. Yang selama ini masih kuingat adalah cerita tentang tiga seorang gadis cantik-cantik. Namanya Klenting Abang, dan Klenting Ijo. Kedua Klenting itu sifatnya sangat jahat. Hati mereka busuk. Kemudian ada Klenting Kuning yang sering dijadikan musuh bagi mereka meskipun Klenting Kuning tidak memusuhi dan malah selalu berbuat baik kepada mereka. Suatu hari, ada seorang pemuda putra raja bernama Ande-Ande Lumut yang hendak mencari pendamping hidup. Ketiga gadis itu ikut mendaftar menjadi calon pendamping meski jarak rumah mereka jauh sekali dengan kerajaan. Pagi sekali, Klenting Abang dan Klenting Ijo merias tubuhnya agar terlihat elok. Sementara Klenting Kuning disuruh emaknya—yang memang tidak suka pada Klenting Kuning—mencuci piring dan perabotan-perabotan lainnya.
Klenting Abang dan Klenting Ijo berangkat. Tetapi dalam perjalanan, mereka tidak tidak menemukan jembatan di sungai yang biasa ada jembatannya. Di sana hanya ada orang usil bernama Yuyu Kangkang yang sedang naik perahu sampan. Mereka berdua memanggil-manggil Yuyu Kangkang untuk meminta tolong menyeberangkan. Tapi Yuyu Kangkang tidak mau. Meski dengan syarat apa pun termasuk uang. Kecuali mencium pipi kanan dan kiri mereka. Klenting Abang dan Klenting Ijo yang mulanya tidak mau akhirnya terpaksa mau. Sementara Klenting Kuning datang telat dan tidak sempat merias wajahnya. Dengan pakaian yang jelek pula ia berangkat menuju kerajaan. Sampai di sungai, ada orang tua yang sukarela membantu menyeberangkannya sebab Yuyu Kangkang tidak mau.