QOMARI sewaktu kecil adalah seorang anak yang kehilangan peran bapaknya. Dia menjadi yatim bahkan sebelum dia lahir ke dunia. Ibunya seorang pedagang nasi keliling yang modalnya kecil. Sering kekurangan karena harus menghidupi lima anaknya.
Kegiatan sehari-harinya adalah menjadi buruh di rumah juragan sapi. Dia mencari rumput di pagi dan sore hari. Upahnya berupa sedikit uang dan tidak jarang hanya berupa makanan. Hidupnya lebih banyak dihabiskan di sawah dan di hutan. Di sawah dia mencari rumput, di hutan dia mencari hewan buruan. Kalau lagi tidak beruntung, dia terpaksa memanjati pohon jati, mengambil daun-daunnya dan ranting-ranting kering untuk dijual.
Qomari sebenarnya bukan orang yang bodoh. Dia termasuk orang yang gairah ingin tahunya tinggi. Hanya saja, dia tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Tapi dia bisa mengaji. Bisa membaca huruf hijaiyah, hapal azan dan puji-pujiannya, dan lancar membaca Alquran. Soalnya tiap habis magrib, dia kerap ke musala dekat rumahnya. Alasannya adalah, di sana lumayan sering ada acara barzanji dan kondangan orang selametan. Sehingga, dia jadi bisa ikut makan.
Orang-orang menyukainya karena dia pekerja keras. Ulet dan telaten. Dia gampang dimintai tolong dan mudah disuruh untuk mengerjakan sesuatu dengan upah apa pun itu. Dia juga dikenal sebagai orang yang baik, tidak neko-neko, tidak seperti bapaknya dulu yang suka bermain judi, juga tidak seperti kakak-kakaknya yang malas dan sukanya menghabiskan waktunya di tongkrongan.
Di usianya yang kedua puluh tahun, dia bertemu dengan ibuku yang saat itu berusia delapan belas tahun. Mereka bertemu di tempat kerja sebagai tukang kupas singkong di kecamatan sebelah. Di saat kebanyakan orang waktu itu menikah karena dijodohkan, mereka menikah karena saling suka. Terlebih lagi ketika mereka sama-sama tahu orangtua mereka sudah saling kenal.
Mereka menikah secara sederhana, sebagaimana kebanyakan orang-orang di saat itu menikah dengan cara yang sederhana. Tidak banyak memakan biaya. Tidak perlu membayar banyak untuk dekorasi, dokumentasi, dan lain sebagainya.
Dua tahun berselang, mereka dikaruniai anak, yaitu kakakku. Mereka hidup dengan damai dan sejahtera. Pekerjaan mereka sebagai buruh tani sudah cukup untuk menghidupi keluarga kecil itu. Mereka tinggal di rumah Kakek dan Nenek.
Aku tak tahu apakah pada saat itu mereka sudah sering bertengkar atau tidak. Aku belum lahir saat itu. Tapi tampaknya mereka baik-baik saja. Bahkan ketika Qomari merantau untuk mencari uang lebih banyak, untuk biaya membangun rumah kecil-kecilan, sepertinya tidak ada masalah besar yang menerpa keluarga ini.
Mereka akhirnya bisa membangun rumah sendiri setelah sembilan tahun dari jarak pernikahan, dan bisa membeli ladang sendiri. Tidak begitu luas, tapi cukup untuk ditanami jagung, kedelai, singkong, dan palawija yang lain. Di sepuluh tahun pernikahan mereka, aku lahir.
* * *
AKU LAHIR tepat suatu pagi ketika langit mengirimkan hujan deras beserta badai. Seperti penanda kalau kehadiranku kelak akan mengubah banyak hal dalam keharmonisan keluarga ini. Ah, tidak, tidak. Aku sebenarnya tidak terlalu percaya hal-hal seperti itu.
Sebulan setelah aku lahir, Bapak sudah pergi merantau lagi. Saat itu memang keluarga sedang butuh uang lebih banyak. Sampai aku usia tiga tahun, Bapak masih lebih sering hidup di perantauan ketimbang di kampung halaman. Meski begitu, aku sangat senang ketika tahu kalau Bapak pulang dari bekerja. Menetap di rumah untuk beberapa minggu, kemudian balik lagi merantau.
Ketika aku berusia empat tahun, kakekku meninggal. Selang lima bulan nenekku menyusul. Itu mungkin yang membuat keluarga ini kehilangan kendali. Bapak sudah tidak lagi merantau. Dia sehari-hari bekerja seperti dulu, kembali menjadi buruh tani lagi.
Awalnya ketika Bapak sudah tidak bekerja di perantauan itu, aku senang, karena bisa bermain dengannya lebih sering. Tapi namanya keluarga, selalu ada percekcokan di dalamnya. Aku mulai mendapati bapak dan ibuku bertengkar. Meski pada saat itu masih terbilang jarang.
Kemudian, ketika aku sudah mulai masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, Bapak sudah tak begitu asyik. Dia lebih suka pergi sendiri. Sudah jarang mengajakku bermain. Setiap sehabis magrib pada saat aku mengaji, Bapak sudah pergi. Lalu dia pulang ketika aku sudah tertidur.