Memeluk Bapak

Daruz Armedian
Chapter #8

7

Tak ada yang lebih seru ketimbang memburu hantu, kata Bandu malam itu.          

           Aku berjalan mengikuti arah langkahnya. Telingaku tidak buntu. Segala yang berbentuk suara, terdengar walau samar-samar. Suara mantra dari mulut Bandu. Suara daun jati kering dan ranting-ranting di jalanan kecil terinjak kaki. Suara kesiur angin mempermainkan daun-daun. Dan tentu saja suara burung kedasih yang pilu dan yang menusuk-nusuk hatiku. Mataku tidak buta. Meski jalan itu gelap, aku tetap melihat Bandu berjalan cepat. Aku tetap melihat ia memegangi senter yang redup. Aku tetap melihat ia seperti orang gugup.

           “Bandu, jangan terlalu cepat!” rutukku dalam dingin. Dalam kepungan angin. Dan ia seperti orang tuli, tak menganggap omonganku sama sekali. Jauh dalam hati aku memaki-maki. Aku mengutuk diriku sendiri, kenapa mengikuti pekerjaan ini. Padahal sebelumnya Bandu memberi tahu bahwa hantu yang akan diburunya itu lebih jahat dari hantu-hantu lain yang pernah ia tangkap.

           Untuk menuju desa Doreno, kami harus menapaki jalan kecil di tengah hutan. Sebelumnya, kami memarkirkan kendaraan, sepasang onthel tua, di desa Undu, satu kilometer jaraknya dengan desa yang dituju sebab jalan itu tidak bisa dilewati kendaraan. Kami melewati hutan yang konon masih dihuni macan-macan. Walaupun sudah pernah dengar dari sebuah penelitian, bahwa macan jawa sudah punah, aku tetap percaya di sini masih ada. Membayangkan itu, aku tergidik. Aku tak berkutik.

           Ya, semua itu demi Bandu. Ia ingin memburu hantu yang gentayangan di desa Doreno. Kalau sampai berhasil, ia akan menjadi kaya. Sebab lurah desa itu telah menjanjikan dua petak sawah untuknya. Sawah-sawah itu kelak, kata Bandu, akan dijual. Hasil penjualannya untuk berjudi. Untuk minum-minuman keras atau singkatnya, untuk berfoya-foya. Biasanya begitu.

           Memburu hantu memang pekerjaan tetap Bandu. Hal itu sudah lama ia geluti. Kalau dalam perhitungan waktu, akan ditemui kira-kira tiga tahun. Dan selama tiga tahun itulah aku menjadi asistennya. Akulah yang menyiapkan segala peralatan memburu hantu. Meski kadang merasa heran, aku tetap menyiapkan apa yang ia butuhkan. Kadang aku heran ketika ia meminta satu batang lidi untuk menangkap hantu buruannya. Padahal hantu itu berupa kain putih besar yang bisa bergerak sendiri dan pekerjaannya menyekap orang. Membunuh dengan cara melilitkan kain di kepala korban. Aku kadang heran ketika ia memintaku menyiapkan tiga butir kacang hijau untuk menangkap kuntilanak yang sering menculik anak kecil. Dan selalu saja, barang-barang yang ia minta, tidak rasional sama sekali dengan apa yang akan ia lakukan.

           Meskipun seperti itu, aku tetap setia menjadi asistennya. Sebab aku selalu mendapat bagian dari apa yang didapatkannya. Hal ini lumayan untuk kehidupan seorang lajang sepertiku dari pada menganggur atau bekerja serabutan tapi hasilnya tidak cukup buat makan. Toh, memburu hantu juga tidak ada hubungannya tentang kesengsaraan.

           Tak ada yang lebih seru ketimbang memburu hantu, katanya sekali lagi. Bagaimana tidak seru? Melihat hantu yang jahat tertangkap dan teriak-teriak minta tolong untuk dilepaskan. Bagaimana tidak seru? Melihat hantu itu kalah dan kita menang. Bukankah kemenangan bagi kita adalah segalanya dan seolah-olah dunia tidak pernah berputar sehingga kekalahan tidak akan pernah didapatkan?

           Pintu masuk ke desa Doreno telah tampak: dua pohon beringin besar. Meski kakiku terlihat tegak, tapi dadaku bergetar. Desas-desus mengenai hantu ini masih kuingat benar. Ia adalah hantu yang memakan banyak korban. Dua bayi kembar hilang dan ditemukan tewas dengan luka gigitan di leher. Entah berapa perawan yang mati secara tidak wajar: leher mereka bekas gigitan. Aku tak menduga ia drakula. Sebab ada juga para bapak-bapak yang mati hilang matanya dan ibu-ibu lenyap tak tahu rimbanya. Hantu itu muncul tidak diduga-duga. Bisa siang dan bisa malam. Kata orang-orang yang pernah melihatnya, bentuk hantu itu seperti kingkong. Tangannya lebih panjang dari kakinya. Hanya saja, ia berwarna abu-abu kegelapan. Taringnya, meskipun kecil, tapi panjang. Sepanjang lengan bayi.

               Di sepanjang jalan desa Doreno sudah banyak orang menunggu. Mereka terdiam. Seperti takjub pada Bandu yang katanya pemburu hantu kondang. Tentu saja, aku juga melihat wajah-wajah itu penuh harap. Semoga hantu yang sering meneror itu cepat ketangkap.

           Aku sudah menyiapkan segala yang Bandu butuhkan—meskipun seperti kukatakan tadi, tidak rasional sama sekali. Dua jarum karatan dan sehelai rambut hitam perawan. Aku sudah tidak heran lagi, sebab pada akhirnya akulah yang kalah membaca pikiran Bandu. Ia selalu berhasil dalam hal perhantuan.

           Pak lurah menemui kami. Katanya, terserah mau melakukan ritual di mana. Yang terpenting hantu itu ketangkap. Pragmatis betul pak lurah ini, pikirku.

Lihat selengkapnya