Begitulah. Mereka akan menikah karena sama-sama saling membenci.
Lelaki itu sudah sangat membenci si perempuan sejak ia mengenalnya. Yaitu pada suatu sore yang biasa, artinya sore yang masih menabur senja, angin sepoi dan aroma langit biru, di ladang tebu milik pamannya, ladang tebu di tengah-tengah keramaian yang agaknya beberapa tahun lagi jadi sebuah kota.
Ia benci sekali melihat cara si perempuan memandangnya. Perempuan itu juga sangat benci terhadap cara memandangnya yang seperti penuh dengan aura kebencian.
Pertemuan mereka memang ada sedikit aroma ketidaksengajaan. Saat ia sedang mengulur benang layangan sambil makan tebu, datanglah perempuan itu membawa parang. Masih dengan rambut yang diikat dua. Kiri dan kanan. Karena saat itu memang sebuah gaya andalan rambut anak sekecil dia yang baru berumur sepuluh tahun.
Melihat gelagatnya yang aneh, lelaki itu buru-buru nyerocos.
“Kamu mau ngapain?”
Begitulah kata pertama yang sangat dibenci perempuan itu. Entah kenapa. Ia sendiri tak bisa menjelaskan dengan kata-kata.
“Mau ngambil tebu!”
Jawaban inilah yang membuat lelaki itu benci. Rasanya seumur hidup baru kali itu ia mendengar jawaban yang membuatnya membenci. Entah kenapa. Sebetulnya ia bisa menjelaskan dengan kata-kata. Tetapi, bukankah kadang rasa benci tak memerlukan waktu untuk menjelaskan alasannya?
Perempuan itu berjalan menujunya. Dengan langkah pelan seperti tabiat asli perempuan. Halus dan sopan. Kadang-kadang pandangannya ke arah layang-layang yang sedikit bergoyang. Tangannya masih memegang parang, seperti hendak membunuh. Seperti hendak menikam. Laki-laki itu terdiam. Bungkam.
“Apa aku boleh ngambil tebu?”
“Jangan!” sergah si laki-laki. Ada diam sejenak di antara mereka. Kalau dalam perhitungan waktu, kira-kira lima detik. “Ini, ambil saja tebu yang sudah aku potong.” Lanjutnya.
Si perempuan benci sekali terhadap orang yang melarang-larang. Ia menggelengkan kepala. Lalu memandang ladang tebu.
“Ayo, jangan malu-malu.” Karena memang lelaki itu tahu kalau yang diajak bicara malu-malu. “Di dalam sana bahaya. Kamu baru pertama kali mau ngambil tebu, kan?” Tambahnya. Perempuan itu mengangguk.
“Sini, aku ceritain sesuatu.” Bujuknya sambil menarik-narik senar layangan. Si perempuan menuruti permintaan itu. Duduk di sampingnya. Dekat. Dekat sekali seperti tanpa sekat. Seperti sudah sejak lama mereka saling mengenal.
“Ladang tebu ini milik pamanku. Ia sering cerita kalau di tengah-tengah ladang tebu ini sangat berbahaya. Dulu, katanya sering sekali ditemukan orang-orang mati tergeletak di sini. Ada orang bertato, ada orang yang dituduh pemberontak, ada wanita-wanita yang dituduh membuat organisasi berbahaya, dan ada banyak lagi.”
Perempuan itu benci sekali kepada lelaki yang banyak cerita. Seperti bencinya terhadap orang yang melakukan kebohongan. Sudah berapa kali ia dibohongi dalam sebuah cerita.
“Roh-roh mayat itu masih bergentayangan. Pamanku saja kalau malam sering mendengar jeritan pilu dari arah ladang tebu ini. Tapi, mungkin, kalau sore sebenarnya tidak ada, sih. Cuma tadi aku khawatir saja sama kamu. Kamu, kan, baru pertama kali ke sini. Eh, ngomong-ngomong kenapa kamu berani ke sini? Bukankah ayahmu pasti melarang anaknya bermain ke tempat sembarangan? Bukankah ayahmu melarang anaknya bermain sama anak orang yang dituduh memberontak negara?”
Tetapi, perempuan itu hanya diam. Ia tidak mengerti sama sekali terhadap apa yang dibicarakan bocah berpakaian lusuh itu.
Lelaki itu benci sekali kepada perempuan yang banyak diam. Dalam kategori berduaan, diam bukanlah emas yang gemerlapan. Tetapi logam yang sudah berkarat dan menusuk tulang belulang. Begitu menyakitkan.