Mengapa kita membenci babi? Satu pertanyaan kau utarakan sambil membuka jendela. Matamu menatap ke luar sana. Petang. Hujan pelan. Kau pasti sedang mengingat kejadian kemarin dan kejadian-kejadian sebelumnya, orang-orang membunuh babi. Mereka menusuknya dengan tombak atau benda tajam lain hingga koyak. Sampai hewan itu mengerang, dari mulutnya muncul sebagai suara yang amat memilukan. Lalu, pertanyaanmu, haruskah aku menjawabnya?
Aku di belakangmu, duduk di kursi tua, mungkin seumuran penjajahan Belanda, membaca buku. Di atasku lampu ukuran mini dengan cahaya yang tak terlalu terang, tapi cukup membuat huruf-huruf di buku ini kelihatan dan cukup membuatku bisa melihat dengan jelas punggungmu.
Aku memandangi punggungmu dan kau tentu saja, dengan pertanyaan itu, tak perlu mengalihkan tatapan dari hujan.
Ya, mestinya kita tak perlu membenci babi, kataku. Aku menutup buku dan diam-diam mengingat sesuatu hal yang berkaitan dengan pertanyaanmu itu.
Aku kecil hidup di kampung terpencil. Kampung berdempetan hutan yang masih membiarkan babi-babi hidup makmur dan berkeliaran. Kampung yang entah kenapa, di sana, di paling ujung, terbangun sebuah surau. Surau yang menyediakan kentongan dan bedug. Surau yang selalu memberi petuah-petuah lewat mulut orang tua, berjenggot putih, berambut putih, dan berpeci putih. Dari mulut itulah, aku sering mendengar alasan kenapa kita harus membenci babi.
Kalau sore tiba (seperti waktu saat ini), aku siap-siap mengambil sarung dan peci—yang aku sendiri tidak pernah mempertanyakan kenapa peci itu lusuh dan kusam sekali. Tak ada yang kukerjakan selain itu. Sebab di rumah, selalu membosankan, melihat pertengkaran antara ibu dan bapakku. Sepanjang perjalanan ke tempat mengaji, aku sering melihat kira-kira lebih sepuluh ekor babi. Jinak atau tidak jinak. Babi-babi itu ada yang milik orang dan ada yang milik jalanan.
Tak ada yang kutakutkan dari babi-babi itu, sebab mereka tidak mengganggu. Bahkan aku pernah menyentuhnya. Babi-babi itu lucu. Apalagi yang masih kecil. Tetapi, semenjak ngaji di surau, aku dibuat bingung. Kenapa babi tidak boleh disentuh, apalagi dimakan. Padahal, kata teman-temanku, daging babi sama saja dengan daging sapi. Sama-sama enak dimakan.
Begitulah ceritanya kenapa aku jadi tidak suka babi. Otakku seperti kena doktrin. Kakek tua itu mengatakan, kalau kita menyentuh babi, maka wajib membasuh anggota badan dengan air sebanyak tujuh kali dan salah satunya diberi pasir atau debu. Karena babi itu najis. Dan bahkan bukan sembarang najis. Najis mugholadhoh. Najis paling tinggi tingkatannya di atas najis-najis yang lain. Dagingnya haram dimakan. Dan sesuatu yang haram kalau dimakan, akan membuat kita berdosa. Dosa membuat orang masuk neraka. Neraka itu penuh dengan bara api dan penyiksaan. Aku takut berdosa. Aku takut masuk neraka.
Aku mengulang perkataan kepadamu, ya, mestinya kita tidak perlu membenci babi.
“Babi tidak pernah berdosa. Tetapi kenapa mereka berbondong-bondong memburunya, membunuhnya?” kau menghadapku. Memunggungi jendela. Jendela yang masih memperlihatkan keadaan bahwa di luar hujan turun pelan-pelan.
“Menurutmu, kenapa?” balasku. Bertanya.
“Orang-orang itu memandang babi dengan sebelah mata. Agama mereka memang melarang menyentuh dan memakan babi, tetapi tidak menyuruh untuk membunuhnya. Babi sama halnya dengan hewan lain. Sama seperti kita juga. Butuh hidup nyaman. Butuh ketentraman. Aku tak pernah membayangkan, betapa mengerikannya hidup di tengah-tengah ancaman.” Kau semakin serius.