Memeluk Bapak

Daruz Armedian
Chapter #11

10

Tahun 2050.

Masalah utama: Celana dalam berwarna ungu, berornamen bunga-bunga. Baru. Barangkali saja belinya seminggu yang lalu. Menggantung di jemuran. Depan kos-kosan.

           Maka begitulah. Setiap kali lelaki gondrong itu membuka pintu kosnya, yang terlihat pertama adalah celana dalam menggantung di jemuran. Sudah sekitar dua minggu celana dalam itu menggantung di sana. Seolah-olah tidak ada yang punya. Tak heran, ia seringkali membayangkan hal yang macam-macam. Misal geliat pinggul perempuan dengan rambutnya yang panjang. Tersenyum dan melambaikan tangan. Muka yang langsat dan berbagai macam isyarat. Seperti memanggilnya. Seperti mengajaknya untuk mengerjakan sesuatu hal yang kurang baik jika diceritakan dalam cerpen ini.

           Tetapi begitulah. Bayangan itu cepat berakhir setelah menengok jam tangan. Waktunya kuliah.

           Pagi. Orang-orang lalu lalang di gang-gang sempit. Depan rumah yang berhimpit. Pedagang sayur dengan gerobaknya menjerit-jerit. Berteriak menawarkan dagangannya di depan satu rumah ke rumah-rumah yang lain. Mahasiswa baru buru-buru melangkahkan kaki ke kampus, takut terlambat—dan memang selalu begitu menjadi mahasiswa baru, kecuali yang ‘benar-benar’ pemalas (ada tekanan lebih tinggi dalam kata ‘benar-benar’). Bapak-bapak tukang becak menyibukkan kakinya mengayuh pedal. Bapak-bapak yang lain menuju warung kopi. Anak-anak bermain. Berloncatan sana-sini. Mereka tak sekolah karena belum waktunya sekolah. Tumpah ruah. Tetapi, semuanya tak ada yang peduli pada celana dalam itu. Celana dalam warna ungu.

           Tak ada yang peduli kecuali lelaki itu.

**

           Lelaki gondrong dengan dua tindik di telinganya itu tahu kalau jemuran itu di depan kos perempuan. Perempuan yang seringkali keluar malam. Dengan rok mini dan baju ketat. Tetapi ia tidak tahu namanya siapa. Sebab, perempuan itu, yang walaupun sering keluar dari kos, jarang sekali bertegur sapa. Dan tak seperti pelacur-pelacur lainnya yang sering menggoda, perempuan itu seperti orang bisu, tak bisa bicara.

           Ia tahu dari ibu kosnya bahwa perempuan yang tinggal di kos itu pelacur. Ia diberitahu semenjak pertama kali ngekos. Ia dipesan agar jangan kaget jika melihat perempuan itu keluar malam-malam dengan pakaian seksi. Bersepatu hak tinggi. Bergincu merah sekali.

           “Siapa namanya, Bu?”

           “Rahasia.”

           “Jelek sekali namanya?”

           “Anjrit. Maksudku, namanya dirahasiakan.”

           “Kenapa?”

           “Kamu tahu sendiri, dia pelacur.”

           “Tapi, banyak tuh pelacur yang tidak dirahasiakan namanya.”

           “Kamu kok ngeyel, sih. Situ minta namanya dirahasiakan. Yang penting aku dapat uang lebih banyak darinya ketimbang dari orang lain.”

Lihat selengkapnya