Memeluk Bapak

Daruz Armedian
Chapter #12

11

Memang seperti itulah menjadi daun. Melambai ketika angin membelai. Hidup bersama embun di pagi hari yang ranum. Bersama terik di siang hari yang membakar bumi. Tapi masalahnya, tidak ada yang mempermasalahkan. Daun ini dibiarkan begitu saja. Entah ketika masih setia menempel di ranting-ranting atau sudah gugur ke tanah-tanah, ke sungai, dan tempat-tempat lain yang sebelumnya tak pernah dikenali.

           Dan pada suatu cerita yang memang ingin diceritakan; Ada sehelai daun yang bisa berpikir. Dalam benaknya selalu bertanya-tanya, kenapa ia hidup di ranting pohon menjulang, di bawahnya sungai yang airnya tenang, tak gemericik, bening dan agak kebiru-biruan. Kenapa ia diciptakan sebagai daun, dan terakhir, untuk apa ia hidup menjadi daun.

Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang mempermasalahkannya. Tidak ada yang menjawab. Sebab bahasa daun sama sulitnya dengan bahasa embun. Diam dan murung.

           Suatu waktu, ada sepasang kekasih yang ia lihat sedang duduk bersama di bawah pohon rindang. Begitu mesra sambil berpelukan. Sesekali bicara kalau sungai di bawahnya indah sekali. Langit biru dan sedikit awan putih tipis, apalagi. Terasa pas untuk sebuah percintaan walau di siang hari. Tapi, satu hal yang perlu dicatat. Mereka tak memperdulikan daun ini. Mereka terlalu asik dalam percintaannya. Mengumbar tawa bersama sambil makan camilan yang dibeli dari pedagang kaki lima. Di bawah pohon yang teduh, di tengah embusan angin yang sejuk, mereka tak menyadari, ada daun yang melihatnya. Daun baik hati yang telah ikut andil menyejukkan tempat itu.

           Ia lihat juga sepasang semut duduk santai di ranting dekat ia menempel. Sebagai hewan yang gaul, semut pun juga berduaan, seperti halnya manusia. Sesekali mereka membahas sungai di bawahnya yang jernih itu, sesekali juga membahas angin berdesir pelan yang menyentuh pipi-pipi mereka. Bahkan mereka tak kalah mesra dengan manusia. Yang berjenis kelamin laki-laki kadang-kadang menggombal. Ah, bukan menggombal sepertinya. Tapi merangkai kata-kata indah untuk pasangannya. Bukankah itu wajar. Bukankah itu memang naluri bagi yang sedang dirundung cinta? Lalu rangkaian kata-kata itu dibacakan langsung.

           Aku ingin mencintaimu dengan setulus-tulusnya/ seperti hujan menyejukkan tanah-tanah/ yang tak pernah minta balasan apa-apa//

           Rupanya ia belajar dari penyair kita yang telah menerbitkan buku Hujan Bulan Juni itu. Semut yang berjenis kelamin perempuan pun tersipu. Pipinya berubah jadi merah jambu. Sampai-sampai tak sanggup bicara apa-apa kecuali senyum dan terpesona. Tetapi, lagi-lagi harus dicacat. Mereka tak memperdulikan daun. Kendatipun kadang-kadang semut itu bersandar di tengkuknya.

           Dan daun ini melihat itu semua tanpa ada yang terlewat. Ia masih tenang. Sebab memang seperti itulah sifat daun. Tenang dan menyejukkan. Apalagi cerita ini belum menemukan konfliknya. Masih dalam tahap pengenalan.

           Angin yang semula tenang, tiba-tiba seperti agak marah, meniup daun-daun dan ranting hingga bergoyang. Seperti ada badai kecil yang sengaja merasuki angin. Sehingga—saya sendiri sebagai penulis menyangka—anginlah yang marah. Kejadian seperti ini membuat tragedi kecil: daun-daun berguguran (tetapi tidak termasuk daun ini) dan sepasang semut romantis jatuh ke sungai yang tenang. Walaupun tenang, ternyata sungai menghanyutkan. Keduanya panik minta ampun. Sesekali keluar teriakan—yang tentu khas semut—memanggil-manggil. Semut laki-laki berusaha keras ingin menolong pasangannya yang tak bisa berenang, walaupun dirinya juga tidak bisa (memang begitulah cinta). Bukankah karena rasa cinta sejati, kita berkorban demi seseorang?

           Sepasang kekasih di bawah pohon itu sedikit panik. Yang laki-laki memeluk yang perempuan. Ingin melindungi. Sebaliknya, hati perempuan memeluk hati laki-laki. Memang ada saat di mana dalam percintaan harus saling melindungi.

           Angin kembali tenang. Mereka kembali tenang. Bahkan malah menggelar tikar kemudian bersantai-santai. Yang laki-laki sedang menulis puisi dan yang perempuan menyandarkan kepala di paha pasangannya. Sebegitu cepatnya mereka mengubah suasana.

Lihat selengkapnya