Memeluk Bapak

Daruz Armedian
Chapter #13

12

Tak bisa dipungkiri. Sebagai penulis, atau kalau itu keterlaluan, sebagai seorang yang suka menulis, hampir setiap hari Pemuda E berimajinasi. Selalu saja ada hal-hal yang sepertinya harus ia imajinasikan.

Misal: suatu pagi yang biasa, artinya pagi yang menghadirkan embun, matahari, dan kicauan burung-burung, ia memandang daun belimbing di depan beranda. Bergoyang-goyang karena angin. Ia mengimajinasikan di bawahnya ada sungai yang mengalir tenang. Dan daun tahu kalau sebenarnya sungai di bawahnya itu menghanyutkan. Tidak seperti penampilannya yang sopan.

           Tiba-tiba daun melihat semut terjatuh—dan tentunya dipastikan tidak bisa berenang. Daun itu melihatnya dengan sedih, dengan iba. Akhirnya menanggalkan tangkainya. Bukan karena angin. Bukan. Ia memang hendak menolong. Setelah tragedi akbar (dalam kategori dedaunan): jatuh diri itu ia menggapai tangan semut hingga terselamatkan. Kemudian merelakan dirinya pergi. Mati. Tak akan kembali lagi ke ranting yang ia tinggali. Ia tak peduli walau semut (yang notabenya tak bisa berpikir itu) tak mengerti sekaligus tak memahami kalau dirinya ditolong. Rupanya daun lebih pamrih ketimbang diriku, pikir Pemuda E.

           Atau pada suatu siang yang hujan, Pemuda E mengimajinasikan hujan itu berbicara padanya ketika ia hendak menuliskannya dalam bait-bait puisi di kertas putih.

“Kenapa kau sering menulis puisi kalau aku datang ke sini?” ujar si hujan sambil menyulut rokok dan sedikit-sedikit meminum kopi milik Pemuda E. Dalam dunia imajinasi, tak ada yang salah kalau hujan bisa bertingkah seperti itu.

Lihat selengkapnya