Memeluk Bapak

Daruz Armedian
Chapter #14

13

Seperti dalam puisi, ia menangis di tengah hujan. Agar airmatanya menyatu dalam rintik air dari langit itu dan orang-orang akan mengira ia baik-baik saja. Tetapi, siapakah namanya?

           Malam ini aku terjebak di warung kopi. Hujan yang makin deras hampir saja membuatku lupa kalau ini sudah dini hari. Penunggu warung pun, kelihatannya sudah tertidur dari tadi. Sepi. Tak ada suara apa pun kecuali suaraku sendiri.

           “Duh, orang-orang pada ke mana, ya. Hujan tengah malam pula.”

Padahal itu hanya gumaman belaka.

           Perempuan itu seperti tak punya selera untuk bangkit dari duduknya. Dari sebuah batu besar dekat pohon cemara, di dekat gawang lapangan sepak bola. Rambutnya yang panjang dibiarkan kelihatan panjang. Tidak digelung. Aku ingin memanggil, tetapi tubuh ini terasa gigil. Gigi gemerutuk dan mata disengat kantuk. Biarkan saja ia di sana. Biarkan saja aku di sini.

           Aku biarkan ia sendirian di sana. Apa urusanku padanya? Aku tak mengenalnya. Atau barangkali pernah kenal, tapi lupa. Ah, sudahlah. Apalagi dari mana ia berasal. Sungguh naif apabila aku tiba-tiba datang dan bertanya, misalnya:

           “Kok sendirian? Di mana suamimu?” iya kalau ia punya suami, kalau belum, pertanyaan ini pasti perlu diralat.

           “Hujan-hujan begini, nggak kedinginan, Neng?” pastilah nanti aku dibilang sok akrab dan tentunya nyari perhatian. Ah, malas. Lagipula tak ada payung di sini, aku sedang tak selera mengganggu orang yang sendiri. Aku sedang tak ingin basah-basah malam ini.

           Kuambil rokok dari bungkusnya. Kuambil satu. Dan memang di bungkus rokok itu cuma tinggal satu. Kusulut dengan perlahan. Waktu ini, yang hangat hanyalah nyala korek api. Asap rokok hanya sekedar asap. Tak ada pengaruhnya. Kuhembuskan asap dan membumbung ke atap. Seperti menghembuskan sebuah kesia-siaan. Sialan juga di sini aku terjebak rasa sepi. Rasa dingin yang menusuk pori-pori.

           Aku melihat lampu-lampu yang semakin kelihatan buram. Hujan deras yang membuatnya begitu. Pohon-pohon jadi sekaku tugu. Aku melihat langit yang kelam namun tak berpetir. Ada juga ternyata masa-masa seperti ini: langit yang kelam, dengan deras hujan, namun tak berpetir. Aku kembali melihat batu besar di dekat pohon cemara, di samping lapangan sepak bola. Di mana perempuan itu?

           Cepat sekali ia pergi.

**

           Namaku Lihen. Tapi orang-orang memanggilku Cok Pintal. Tidak tahu kenapa. Namamu siapa?

           Kurang lebih seperti itulah aku memperkenalkan diri.

           “Namaku Elisa, aku menyukai sunyi.”

           Aku menatapnya dengan luka. Dengan mata yang duka. Kok, ada perempuan secantik ini menyukai sunyi. Jangan-jangan ia sufi. Jangan-jangan ia penyair perempuan yang hilang sebagai diri. Ah, tidak. Aku pernah mendengar tutur kata orang: jangan membayangkan sesuatu yang bukan-bukan jika berdekatan dengan perempuan. Nanti urusannya bisa panjang.

Lihat selengkapnya