Sepasang mata anak kecil yang mungil, mata yang tak mengerti kesedihan apa-apa, menatap tajam pada daun-daun yang berguguran dari pohon di tengah taman.
“Kenapa daun-daun itu jatuh, Ibu?” tanyanya kepada perempuan yang sedari tadi terdiam sambil menunjuk daun-daun yang pelan-pelan terlempar ke tanah basah sebab hujan tadi siang. Wajah polos itu menampakkan kepolosannya.
“Kenapa daun-daun itu jatuh, Ibu?” tanyanya sekali lagi. Kali ini sambil menatap kedua mata ibunya yang sendu dan wajahnya yang kusut tak menentu. Seperti sebuah kebosanan. Seperti sebuah ketidakminatan. Seolah-olah daun-daun yang dimaksud anaknya adalah kesia-siaan. Lalu, terdengar pelan embusan napas panjang.
“Karena ada angin yang menerjangnya.” Perempuan itu buka suara sembari membuang pandangan ke arah pepohonan. Pepohonan yang lama-kelamaan terlihat buram karena matahari hampir tenggelam. Sejak kemarin ia kehilangan nafsu untuk bicara. Bahkan walau hanya sepatah kata.
“Berarti angin itu jahat?” anak itu bertanya lagi dengan kepolosan yang tak ada habis-habisnya.
“Kenapa jahat?” perempuan itu balik bertanya. Tentu dengan nada yang agak menukik. Seperti jalan kehidupan yang selama ini ia lalui. Atau seperti jalan sebelum menuju taman ini.
“Karena angin itu telah menjatuhkan daun-daun.”
“Tidak. Tidak jahat. Bahkan angin itu baik. Ia ingin memberi tahu daun-daun kalau hidup itu mesti bergantian. Setelah daun-daun jatuh, pasti ada penggantinya berupa daun-daun yang lain.” Suara perempuan yang dipanggil ‘Ibu’ itu ngelantur. Ia seperti tidak peduli apakah anaknya akan paham atau tidak. Yang jelas, sebagai seorang yang dewasa, ia mesti menghargai anak-anak. Termasuk dalam berbicara. Ia tidak boleh diam jika anaknya bertanya.
Anak itu terdiam. Terdiam sebentar—kalau ditaksir dalam perhitungan waktu, sekitar satu menit. Satu menit terlihat sebentar jika dibandingkan satu jam, tentu saja. Angin mulai berembus kembali. Kali ini agak begitu kencang embusannya. Menyibak rambut panjang perempuan itu dan menyibak rambut pendek anaknya. Sejenak, dunia ini hanya terdiri dari angin belaka. Anak kecil itu memandang orang-orang lalu-lalang yang menggumam entah apa, barangkali sebuah ketiadaan, barangkali sebuah ketidakabadian. Lalu kembali ia angkat bicara.
“Aku ingin seperti angin.”
Tak ada tanggapan dari ibunya, seorang perempuan dengan wajah muram dan mata yang sendu seolah-olah menggambarkan kalau di dunia ini tidak ada perasaan lain kecuali kesedihan.
“Ibu, aku ingin seperti angin.” Anak kecil itu, seperti robot otomatis, mulutnya merentetkan kata-kata, tak habis-habis.
“Alasannya?” Ibunya menanggapi tanpa selera.
“Aku ingin seperti angin. Aku ingin jadi orang baik.”
“Oh, bagus kalau begitu. Dan memang harus seperti itu.”
“Bisa kan, Bu?”
“Jelas bisa, dong.” Perempuan itu tak mengira anaknya sudah sepintar ini. Siapa yang mengajari? Apakah di sekolahan ada pelajaran yang seperti itu? Ah, tidak-tidak. Anak itu belum sekolah. Meski seharusnya sudah pantas sekolah.
Langit sore mulai menampakkan warna yang kemerah-merahan. Sebentar lagi matahari bersembunyi di balik gunung-gunung yang berderet dari utara ke selatan. Seorang ibu dan anak itu masih duduk di taman. Tak ada camilan—seperti cokelat, permen, dan jajanan lainnya—di samping mereka. Tak ada minuman, walau sebatas air mineral. Yang ada hanya kekosongan. Kau dengar, yang ada hanya kekosongan.
Orang-orang timbul tenggelam di balik pepohonan. Orang-orang berseliweran di jalan sambil membawa aneka barang. Tas, hape, bunga, ransel, cangkir kopi, hidangan makanan. Orang-orang berseliweran dengan apa saja. Semisal, hewan peliharaan, anak kecil, sahabat remaja, pasangan muda, dan lain-lain yang sebenarnya bisa di tulis di sini, akan tetapi tidak terlalu penting untuk menyebutkan semuanya. Ada yang masuk ke museum kecil yang kebetulan berada tepat di pinggir taman. Ada juga yang keluar dari museum kecil itu.
Tetapi seorang ibu itu tidak ingin beranjak. Ia mungkin lebih senang duduk di bangku taman bersama anaknya yang cerewet sambil menikmati menit-menit berlalu, menunggu hari benar-benar malam.
“Ibu?”
“Ya.”