Bus kota yang berhenti di terminal Giwangan itu memang semula ingin membuyarkan lamunanku dari macam-macam kenangan. Kemudian melepasku dari belenggu diam dan kepiluan yang semakin dalam. Aku lihat orang-orang bergegas. Seperti keluar penjara dan melenggang bebas. Wajah-wajah yang berupa-rupa, timbul tenggelam dalam cemas.
Eliana. Di Jogja, yang selama setahun lebih aku tinggal di sini, seolah-olah aku malah terdampar di hutan rimba. Sebab lamunan itu kembali terus ada.
“Bedakan laki-laki dan perempuan. Penyair sepertimu harusnya bisa mengerti hal seperti itu.” Kemarin. Katamu di sela-sela kota Surabaya yang dibenci hawa dingin.
“El, kau harus tahu. Kasih sayang hujan pada lautan tak harus sering bertemu.”
“Tapi perempuan butuh perhatian.” Selamu. Aku tahu segalanya tentangmu, maka tak ada yang lebih baik kulakukan kecuali diam. Sebab aku yakin, kata-kata tak ada gunanya jika diutarakan pada orang yang sedang marah.
Kini, aku terdiam di warung angkringan. Di sebelah selatan perempatan ringroad. Tepat di bawah pohon beringin yang sudah menua. Pohon beringin yang seperti tak pernah menuntaskan cerita demi cerita. Mungkin umurnya sudah seusia penjajahan Belanda. Di situlah, aku memesan kopi dan mengambil satu batang rokok. Aku bertanya berapa harga nasi. Dan sungguh, Jangkrik. Nasi sekepal ini harganya melebihi honor puisi. Aku akhirnya memilih tak jadi makan meski kelaparan. Hanya menyulut rokok satu dan langsung melenggang setelah selesai memberi uang seribu lima ratus rupiah pada pemilik angkringan. Kopi yang kupesan kubatalkan.
Setelah itu. Entah. Entah ke mana lagi, tak ada tujuan. Hari sudah terlanjur malam. Malam yang seperti lebih pekat dari sebelumnya. Aku enggan pulang ke kosku sendiri. Meski ojek lalu-lalang. Becak-becak tidak kurang. Aku berjalan menyusuri jalan raya seperti orang gila. Atau mungkin memang sudah gila? Sialan!
Aku melangkah, seperti di dunia yang antah-berantah. Semula aku hanya ingin berhenti di emperan masjid, tapi kebanyakan emperan masjid di sini ditutup. Gerbangnya yang tinggi-tinggi, buatku malas untuk menaiki. Mata yang teramat ngantuk dan tubuh yang begitu lelah, membuatku pasrah. Daripada tersiksa, lebih baik aku tidur di sembarang tempat saja.
“Lebih baik kita pisah saja. Daripada seperti ini?” sambil tak memandangku, kau ucapkan kata-kata itu di kemarin waktu. “Daripada aku pura-pura bahagia. Bukankah kamu yang bilang sendiri kalau tak bahagia denganmu, aku boleh mengungkapkan hal itu?”
Pandanganmu memang menatap kepada bulan di langit petang. Tapi tajamnya menusuk hatiku dalam-dalam. Jadi, aku jauh-jauh ke sana hanya untuk kau sakiti. Dan tentu saja, El, aku tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk bicara sepatah kata.
Tapi kau masih terus bicara. Padahal diamku berusaha mengundangmu untuk diam juga.