Kalau saja bukan karena hujan akhir Mei, cerita ini tak akan pernah terjadi.
Sebab, saat itu aku pasti mengingat gadis berambut panjang dan dengan buku di tangannya yang duduk menunggu seseorang di bangku taman sambil menikmati gudeg Yu Minah, yang adalah ibuku sendiri. Aku selalu suka bertemu dengannya meski tanpa pembicaraan apa-apa. Sebab aku hanya sibuk dengan pekerjaan membantu ibu melayani orang-orang yang membeli gudeg. Selain itu juga, aku tak mengerti harus membicarakan apa jika mendekat padanya. Aku tidak pandai berbicara.
Aku tahu gadis itu menunggu seseorang karena ia pernah ditanyai banyak lelaki dan aku mendengarkannya.
“Sendirian saja mbak?”
“Iya, ini lagi nunggu seseorang.” Kata gadis itu dengan senyum yang manis. Sungguh manis sekali.
Dan lelaki yang bertanya itu juga membalasnya dengan senyum lantas beranjak pergi. Meneruskan kesibukannya sendiri. Kemudian setelah itu, di hari-hari selanjutnya, sering sekali aku melihat banyak lelaki yang menanyai hal yang sama. Jawaban gadis itu juga sama dan dengan sikap yang sama pula. Sebagai lelaki, yang seharusnya mengikuti lelaki lain bertanya-tanya pada gadis itu, aku memilih tidak ikut campur urusannya.
“Le, itu Pak Giono pesen gudeg dengan cabai banyak dan krupuknya banyak. Ibu lagi ngurusin nasi.” Kata ibuku. Ya, itulah sebabnya aku tak pernah ikut bertanya pada gadis itu. Aku selalu punya pekerjaan.
Sebenarnya, aku juga ingin berbincang panjang mengenai buku-buku. Aku suka buku dan aku lihat ia juga suka. Sebab setiap hari buku yang dibawanya berbeda-beda. Tanda ia memang benar-benar suka membaca. Dari kemarin aku melihat buku-buku yang kalau kusebut namanya akan jadi seperti ini: Madre, Filosofi Kopi, Ayat-Ayat Cinta, Ayat-Ayat Setan, Seratus Tahun Kesunyian, Kambing dan Hujan, Serial Supernova, Aruna dan Lidahnya, Cala Ibi, Melihat Api Bekerja, Dari Puya Ke Puya, Reruntuhan Musim Dingin, Sarelgaz, Hujan Bulan Juni, Catatan Pinggir, Norwegian Wood, Salju, Rumah Kertas, Adakah Bagian dari Cinta yang Tidak Melukaimu? dan lain-lain yang kalau kusebutkan namanya, mulutku kelu.
Ia cantik dan aku suka bila mengantarkan gudeg lengkap dengan berupa es teh padanya. Karena hanya waktu itulah aku mempunyai kesempatan melihatnya lebih dekat. Aku ingin mengatakan sesuatu bila seperti itu. Misalkan saja mengatakan buku yang tengah dibacanya itu bagus atau sekedar bertanya apakah ia juga suka menulis. Tetapi, saat-saat seperti itu, ia masih sibuk membaca dan aku tahu, mengganggu orang membaca dosanya lebih besar ketimbang memutuskan hubungan dengan pasangan. Maka yang ia ucapkan hanya terima kasih sambil tersenyum. Lalu aku pergi dan kembali sibuk dengan pekerjaanku sendiri. Dan biasanya saat kembali, saat melangkah dengan memunggungi tempat gadis duduk itu, aku tersenyum-senyum sendiri. Sampai pada suatu hari ibuku bertanya keheranan, aku ini kenapa.
Suatu ketika, aku tak melihat gadis itu lagi. Yang ada hanya bangku kosong, kosong yang benar-benar kosong, atau kadang-kadang orang lain yang duduk di bangku itu. Aku mengira, mungkin karena hujan gadis itu tidak datang dan melakukan kebiasaannya.
Tetapi, hari-hari selanjutnya, tetap ia tidak ada di sana.
Entah apa yang membuatku gelisah saat gadis itu tiba-tiba seperti lenyap dari bumi. Mungkinkah aku merindukan rambutnya yang legam, ataukah senyumnya saat mengatakan terima kasih, atau saat ia janggal membaca buku sehingga wajah cantiknya terlihat lucu: dahi yang dikerutkan, alis ke atas, dan bibir dimonyongkan seperti bibir orang ngambek. Atau aku telah mencintainya semenjak dalam pikiran?
Karena terlalu memikirkan hal itu aku demam dan ibuku menyuruhku untuk istirahat saja di rumah. Tetapi aku menolak dan tetap ingin di sini, di warung gudegnya ini. Aku ingin melihat gadis itu datang kemudian memesan gudeg dan es teh dan aku akan melakukan hal yang sama, mengantarkan pesanan itu lalu ia tersenyum sambil mengatakan terima kasih.
Tetapi, seminggu telah berlalu. Gadis itu tak muncul-muncul juga di situ. Keadaanku semakin parah, wajahku pucat dan semua makanan yang ibu suapkan padaku, aku menolaknya. Aku tak berselera makan. Sampai suatu pagi yang biasa, aku tidur dan bermimpi gadis itu melihatku dari balik jendela saat aku berjalan mencarinya.