Tak ada yang dipertanyakan Mei, perempuan yang menjadi korban penyerangan orang-orang pada etnis Tionghoa itu, ketika duduk di sebuah bangku yang usianya sudah tua, kecuali satu: adakah cinta benar-benar keras kepala?
Mei melihat seluruh perempuan yang duduk di bangku taman itu gelisah. Mereka sama-sama menunggu seseorang yang telah berjanji akan bertemu. Tetapi, Mei, salah satu di antara lima perempuan yang duduk di lima bangku itu, tidak memperlihatkan aroma kegelisahan. Bagaimanapun juga, menunggu adalah pekerjaan, pikirnya. Dan bukankah bekerja tak ada yang sia-sia kecuali bagi yang putus asa?
Daun pun jatuh.
Mei teringat sesuatu ketika daun itu tepat tergeletak di pangkuannya.
Anak kecil duduk sendirian di bangku tempat penjemputan depan sekolahan. Di bawah mendung tebal yang sebentar lagi mencair jadi hujan. Anak kecil itu, dengan rambut dikuncir dua, mempermainkan ujung bajunya. Kadang-kadang melihat jam yang ada di pergelangan tangan kirinya.
“Sedang menunggu siapa, Sayang?” tanya Mei bersamaan daun-daun yang berjatuhan sebab angin semakin kencang.
“Menunggu ayah.” Jawab anak kecil itu singkat. Matanya melihat Mei, lalu beralih ke daun-daun yang sudah berguguran di jalanan.
Mei mengerti bocah itu gelisah. Mungkin ia sudah lama di sini. Ayahnya lupa menjemput. Atau di rumah masih sedang sibuk. Segala kemungkinan pastilah bisa terjadi di luar dugaan. Sebagai perempuan yang sudah dipanggil guru, atau memang kelakuan aslinya seperti itu, Mei segera mengatakan hal ini:
“Mau kuantar pulang?”
Dan entah sebab anak itu takut mendung akan segera jadi hujan atau takut ayahnya lupa menjemput atau terlalu percaya dan rindu pada perempuan dewasa karena sudah lama kehilangan seorang ibu, ia menganggukkan kepala. Mengatakan setuju tanpa kata-kata.
Itu adalah hari di mana pertama kali Mei bertemu seorang lelaki yang baik hati—selain almarhum ayahnya. Lelaki itu begitu lembut ketika berhadapan dengan anaknya atau siapa pun. Ia juga tidak segan mengucap terima kasih pada perempuan. Seingat Mei, jarang sekali lelaki berterima kasih pada perempuan kecuali dalam rayuan. Sejak tragedi yang merugikan orang-orang Tionghoa di beberapa tahun lalu, Mei selalu beranggapan kalau semua lelaki adalah lambang kejahatan. Mungkin ia sedang trauma bagaimana seorang lelaki mengangkanginya. Waktu itu ia berumur lima belas tahun. Maka ia bersumpah tidak akan menikah.
Tetapi, saat Mei bertemu lelaki itu, ia melanggar sumpahnya. Dan, sumpah itu berganti menjadi sebuah sumpah bahwa ia akan menerima segala resiko yang muncul akibat melanggar sumpah.
Lelaki yang ditunggu Mei belumlah datang sebagaimana orang-orang yang ditunggu perempuan-perempuan lainnya. Mei sesekali memperhatikan perempuan-perempuan tersebut dengan prihatin. Ah, seharusnya tak perlu ada penantian bagi setiap yang tidak jelas untuk datang.
Mei melanjutkan ingatannya. Ia semakin sering mengantarkan anak kecil itu ke rumahnya. Kemudian, mungkin sudah takdirnya, Mei akhirnya dinikahi ayah anak itu. Mereka menjadi keluarga paling bahagia di dunia, dengan kesetiaan yang sempurna. Terutama bagi Mei, kehidupannya menjadi lebih cerah dari biasanya.