Di rumah tua itu, selalu saja ada seorang nenek yang mengeluarkan airmata. Merembes di pipi dan sesekali jatuh ke tanah hingga basah. Dari gurat-gurat wajahnya, sangat bisa dibaca, ia tengah merindukan seseorang. Dan bendera yang tergantung di beranda, adalah benda terakhir yang ia daku sebagai hadiah dari masa lalu. Hadiah untuk mengenang seseorang yang telah lama pergi. Seseorang yang benar-benar ia cintai.
Setiap sore tiba, nenek itu akan melihat bendera dari jendela rumahnya. Menghadap ke barat sambil mengingat-ingat: seorang lelaki pemberani dengan tekad yang kuat pamit akan berangkat ke medan perang. Dengan senjata seadanya, lelaki itu ikut rombongan gerilyawan.
Tujuh puluh tujuh tahun yang lalu, seorang lelaki pergi dari rumah tua ini dan sekarang ia belum kembali. Nenek itu bercerita yang entah kepada siapa. Yang jelas hanya terlihat seperti bercerita pada dirinya sendiri.
Di rumah tua itu, ia adalah satu-satunya penghuni. Dengan tubuh yang rapuh dan mulut yang sering membisu, ia bersikeras agar tidak meninggal begitu saja. Artinya, ia meninggal dengan sia-sia dan tidak bertemu dengan seseorang yang ia tunggu. Mungkin takdir kematian di tangan Tuhan, namun manusia juga punya harapan. Manusia yang itu termasuk dirinya. Ia berharap waktu tak pernah mampu mengikis usianya. Ia berharap waktu berjalan begitu saja tanpa menyeret dirinya.
“Umurku dua puluh lima, Sri.” Kata lelaki dengan tekad yang kuat itu.
“Ya, umurmu dua puluh lima. Umurku dua puluh dua.” Kata perempuan yang hatinya lembut itu.
“Kita menikah dua tahun yang lalu.”
“Ya, kita menikah dua tahun yang lalu. Apakah kita bisa bersama dalam waktu yang lebih lama?”
“Sri, Sri Sumalah, suamimu ini orang paling setia di dunia setelah kanjeng nabi.”
Sri Sumalah tersenyum getir, namun ia percaya perkataan suaminya. Kalaupun toh lelaki itu berbohong, minimal dirinya sendirilah yang akan setia seperti istri kanjeng nabi.
“Aku akan pergi berperang. Jaga dirimu di sini baik-baik.”