Memeluk Bapak

Daruz Armedian
Chapter #21

20

Dan sungguh, kau harus tahu, pada suatu waktu yang hujan itu, ada seorang lelaki kurus melongok ke lubang jumbleng yang penuh kotoran dengan tanpa mengucap kekesalan apa pun. Artinya, dalam mulutnya tak ada keluh atau aduh. Jangankan dari mulutnya, dari hatinya pun tidak.

           Ya, mungkin para malaikat telah menutup hidungnya dari bau busuk kotoran. Atau kalau tidak begitu, pasti mereka telah melindungi hatinya dari segala yang bernama kebencian.

           Siapa lelaki itu? Tanyamu ketika kisahku baru seujung kuku. Kisahku ini baru dimulai, sohibku.

           Hujan di luar semakin deras. Suaranya kemresek tak menentu. Tapi di dada Mbah Yai yang berdiri di belakang lelaki itu tetap tenang, setenang perahu Fansuri. Beliau manggut-manggut menyaksikan santrinya melongok ke lubang penuh kotoran. Juga di dada lelaki itu. Tetap tenang setenang air kolam.

           Siapa Mbah Yai itu? Tanyamu. Lagi-lagi ketika kisahku baru seujung kuku. Tenanglah dulu, sohibku.

           Tapi di peristiwa itu, tidak ada keanehan apa pun. Semisal dari lubang kotoran muncul cahaya berkilauan kemudian berubah jadi sesosok makhluk bersayap dan memberi petuah-petuah singkat. Atau, keluar semacam kegelapan, pertanda ada sihir atau hantu yang jahat. Tidak. tidak ada keanehan apa pun. Justeru yang terjadi hanyalah bau busuk menguar dan menyengat.

           “Punten, Mbah. Barang yang Jenengan maksud tidak ada di sini.”

           Tetapi tidak. Perkataan itu tidak muncul dari mulut siapa pun. Bahkan seharusnya, lelaki itu bisa saja mengatakannya. Perkataan itu hanya muncul dari orang-orang yang kurang memahami bagaimana cara menghormati Mbah Yai. Dan, tentu saja, lelaki itu tidak demikian adanya.

           Ia malah membongkar dua balok kayu dan blabak yang berlubang itu dari asalnya. Ya, jadi ketika kayu-kayu yang sudah teriris tipis-tipis dan yang mulanya tertimbun tanah itu tercerabut, kelihatan semua kotoran karena lubang menganga lebih besar. Membentuk lingkaran yang lebih lebar ketimbang drum minyak tanah. Bau busuk makin menyengat. Lebih menyengat dari pada sebelumnya.

           Nah, itu adalah waktu ketika sebelumnya Mbah Yai kebingungan mencari solusi bagaimana caranya mengambil cincin kuning yang terjatuh ke lubang jumbleng. Beliau mondar-mandir di depan ndalem. Sementara, para santri yang mulanya—entah bermain entah ngapain—di luar pondok, pada bergegas masuk. Mungkin takut atau mungkin merasa tidak sopan, tak ada yang tahu.

           Kemudian Mbah Yai ingat mimpinya semalam.

           Beliau terjebak pada sebuah jalan yang rumit. Jalan yang bercabang. Jalan yang belum pernah dilalui sebelumnya. Ketika itu tidak ada siapa-siapa. Di sana, hanya bersemayam kesunyian yang legam. Mengental serupa kopi dituangi susu. Beliau tidak tahu harus berjalan ke mana. Sebab, setiap cabang jalan selalu menyediakan kemungkinan-kemungkinan. Padahal, beliau ingin pulang. Tentu saja, pulang ke rumah asal mula ia berdiam.

           Di situ, pada suatu jam yang telah ditentukan Tuhan, muncullah salah satu santri beliau. Datang dengan tubuh yang berkilau. Kemudian, si santri itu menggenggam tangan beliau dengan erat. Mengajaknya terbang dengan sayap.

           Apa kau akan bertanya siapa santri itu? Ia adalah lelaki yang nanti akan mengorek kotoran untuk mencari cincin kuning milik Mbah Yai.

Lihat selengkapnya