Sore ini, dalam keadaan telentang, Parman melihat ruhnya menari-nari. Tepat di dadanyalah ruh itu berpijak, kadang menjinjit, kadang melompat. Tangan dan tubuhnya meliuk-liuk seperti karet. Begitu lentur, begitu luhur. Dada Parman serupa panggung yang luas. Sehingga ruh itu dapat menari dengan bebas.
Sebagai lelaki yang suka menyawer, memberi uang kepada sinden sambil menari, Parman ingin sekali mengikuti tarian ruh itu. Tetapi, ia merasa tangannya kaku, tubuhnya kaku, kakinya juga kaku, seperti kena kutukan menjadi batu.
“Sialan! Apa yang terjadi dengan tubuhku?” ia memaki-maki, entah ditujukan pada siapa, tak ada yang tahu. Mungkin pada dirinya sendiri.
Sedangkan ruh itu, tariannya makin menjadi-jadi. Jingkrak-jingkrak tanpa dosa. Namun tak seberapa lama kemudian, ia berhenti. Terdiam. Terbengong. Matanya memandang tubuh Parman yang kaku seperti tugu. Lalu, ada beberapa patah kata keluar dari mulutnya, seperti menyepah tebu yang manisnya sudah tak ada.
“Kenapa bisa begitu, Parman? Kenapa kau tak bisa berbuat apa-apa? Mana kemahiranmu menari bersama sinden-sinden ayu yang kau agung-agungkan itu? Mana tanganmu yang pandai meliuk-liuk itu?”
Sesungguhnya, Parman ingin sekali membalas perkataan ruhnya, dengan dicampur maki-makian, tentu saja. Atau bahkan tanpa perlu membalas perkataan, ia langsung meloncat dan menari sebagaimana biasanya, untuk membuktikan kalau dirinyalah yang pantas menari. Tetapi, ia sadar, sungguh-sungguh sadar—sambil mengumpat—bahwa dirinya tidak bisa apa-apa untuk saat ini.
“Anjing. Tubuhku hari ini lebih buruk dari sekadar bangkai.” Itu adalah perkataan Parman dalam hati. Dan tentu saja tak akan pernah keluar menjadi suara yang kemudian meluncur ke telinga ruhnya.
Masa bodoh. Akhirnya, ruh itu kembali menari, tanpa lawan, tanpa kawan. Ia sendirian, merasa bahagia, bebas dari segala. Telanjang dan tanpa apa pun yang mengekang.
“Aku bebas dari penjara!” teriaknya.
**