Seandainya, kekasihku, kau ingin menikahiku dan aku meminta mahar perkawinan itu berupa pohon yang jumlahnya seribu, apa kau masih mau?
Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kau tahu, Bandung Bondowoso saking cintanya, ia rela memenuhi permintaan Roro Jonggrang untuk membuat seribu candi. Dan itu bisa dilaksanakan meski dengan kelicikan dan meski candi itu kurang satu. Bukankah hanya karena cinta sejati sebuah permintaan serumit apa pun akan diusahakan untuk memenuhinya?
Aku bukan perempuan yang materialistik. Sebab pohon-pohon yang kuminta itu tidak mungkin aku gunakan sendiri. Misalkan nanti jika mereka beranjak besar, kutebang dan kujual lalu uangnya kugunakan sendiri. Tidak. Aku hanya ingin tempatku teduh dan bukan berpolusi seperti saat ini. Pohon-pohon itu aku ingin merawatnya bersamamu. Sampai tua nanti, sampai kita punya anak dan cucu—jika dikehendaki.
Dan lihat, bagaimana nanti kota jadi sejuk dan nyaman seperti taman. Burung-burung senantiasa singgah dan membuat sarang. Cericitnya menghiasi pagi dan rumah kita terletak di sana. Kau dan aku saling bercumbu di rumah sederhana sambil menertawakan, betapa lucu bunyi burung itu, tidak serupa burung-burung lainnya. Atau berduaan sambil memandang mereka terbang kembali pulang kala sore menjelang.
Aku ingin jika pagi tiba dan tanganku membuka jendela, mataku tertambat pada hehijauan dan bukan bangunan kota atau pabrik atau pertambangan yang memuakkan. Betapa, pohon-pohon itu seperti menghiburku dan mereka berkata, inilah surgamu, surga yang tak ada kebisingan mesin, asap knalpot, atau polusi-polusi lainnya.
Jika permintaan itu kau rasa sulit dan hanya akan membuatmu memaki, dasar perempuan materialistik, tidak menyukai kesederhanaan, tidak menghargai laki-laki yang tidak kaya yang hendak menikahinya. Maka, kau harus tahu, lebih materialistik mana antara aku dan perempuan-perempuan yang meminta mahar berupa uang yang kemudian dihambur-hamburkan dengan berbelanja di supermarket yang kemudian wadahnya dibuang secara serampangan sehingga mengotori lingkungan. Lebih materialistik mana antara aku dan perempuan-perempuan yang meminta mahar cincin yang itu dihasilkan dari pertambangan. Jika emas itu dilahirkan dari bumi Papua yang dikelola Freeport, hitunglah jumlah kerugian-kerugian yang ditimbulkan: kekerasan, kericuhan, kematian, kerusakan alam, dan lain sebagainya. Dan jika emas itu lahir dari bumi mana saja, maka lihatlah akibat yang ditimbulkan dari pertambangan itu.
Aku sebenarnya tidak ingin mempersulit pernikahan itu dan bukan aku ingin mengetes kadar cintamu. Aku hanya ingin orang-orang tahu hubungan ini dengan mahar seribu pohon, lalu mereka berbondong-bondong mengikuti kita. Menikah dengan mahar berupa pohon-pohon. Karena kelak mereka akan tahu betapa bahagianya hidup di tanah yang sejuk dan tidak berpolusi.
Aku ingat semasa masih kuliah, kau berkunjung ke kostku (yang itu kost dekat rumahmu, di sebuah kota yang bising dan jauh dari rumahku di perkampungan) dan aku hanya memakai kaus kutang dan celana pendek. Kau menegurku dan aku menjelaskan, betapa panas udaranya. Lihat, bangunan-bangunan tinggi yang sudah rapat itu kini masih saja hendak melahirkan bangunan-bangunan yang lain dengan membabat pohon kecil di tempatnya. Kau kemudian, barangkali dengan rasa cintamu, membelikanku kipas angin pada hari berikutnya. Sehingga aku tidak lagi kepanasan.
Tetapi, aku masih berpikir, bagaimana nasibnya orang yang tidak punya? Tidak punya kipas angin saja misalnya. Dengan cara apa mereka menghilangkan panas itu? Dengan kipas angin manual: menyobek kertas dan menggerak-gerakkan tangannya? Okelah. Tetapi itu tidak selamanya bukan?