Memeluk Bapak

Daruz Armedian
Chapter #24

23

Tak ada hal yang paling menyedihkan di dunia ini bagi Mat Sumbing kecuali melihat satu-satunya kambing yang ia miliki mati.

           Kambing itu terkapar tak berdaya di kandangnya yang sempit di suatu pagi yang biasa. Artinya pada pagi yang menyediakan matahari terbit dan embun turun dari langit. Kambing itu mati dengan mata yang terpejam dan gigi yang terlihat sedikit, seolah-olah menandakan kambing itu mati secara baik-baik, atau mati dengan bahagia. Tanpa busa di mulutnya akibat racun dan tanpa membesar perutnya karena kembung. Sedangkan Mat Sumbing, melihat keadaan itu, meneteskan airmata. Menangis sedu-sedan. Dan mengatakan pada dirinya sendiri kalau hari itulah hari mahaduka pertama kali yang ia terima.

           Mat Sumbing masih merasakan kehangatan ketika tangannya menyentuh tubuh kambing itu. Artinya, ia mati tidak lama. Ah, andai saja Mat Sumbing tahu detik-detik kematian kambingnya, pastilah ia tidak seduka itu. Mungkin ia akan mengambil golok yang selalu tergeletak di bawah bangku rumahnya. Dan dengan sigap, ia menggorok leher kambing itu tanpa doa—sebab ia tak bisa berdoa. Lalu memakan dagingnya mentah-mentah karena susah baginya memasak sekaligus susah mendapatkan uang untuk biaya memasak atau kalau itu terlalu menjijikkan, maka Mat Sumbing akan menjualnya secara kiloan. Atau, daging kambing itu dibakar secara langsung tanpa bumbu apa-pun. Itu lebih berguna ketimbang mati sia-sia.

           Tetapi, seperti masa depan nanti, kematian memang selalu susah dipahami.

           Padahal malam itu, malam yang pekat sebelum kematian si kambing, Mat Sumbing sedang tidak bermimpi apa-apa. Ia tidur di atas tikar seperti biasa. Di atas tikar kumuh yang terbuat dari pandan berduri dan tanpa berbantal apa-apa. Ia tak pernah dan tak akan pernah menduga kalau paginya, ketika hendak menaruh rerumputan di tempat makanan kambingya, akan melihat sesuatu hal yang amat menyedihkan. Melihat kambing yang gemuk, kambing yang ia rawat selama berbulan-bulan, mati sia-sia, mati tanpa mewariskan apa-apa.

           Maka, karena saking cintanya, dirawatlah bangkai kambing itu baik-baik.

           Maka, karena saking berdukanya, diingatlah riwayat kambing itu baik-baik.

           Mat Sumbing menggali kubur seukuran kambing itu di belakang rumahnya yang sempit. Tepat di bawah teritis, genting-genting tempat mengalirnya air hujan. Itu karena ia tidak punya tanah lagi kecuali di sana. Kambing itu dibopong. Meski berat minta ampun, ia tetap melakukannya. Sebab, tak ada cara lain. Semua tetangganya adalah orang kaya dengan rumah yang megah, yang sehari-hari berangkat ke kantor menaiki mobil. Tentu saja orang-orang kantoran enggan menyentuh bulu kambing yang bau apek. Tidak mungkin ia meminta tolong hanya karena untuk membopong bangkai kambing yang tidak memberi manfaat apa-apa.

           Mat Sumbing bisa menyimpulkan itu karena pada suatu hari, ia hendak berhutang sedikit uang kepada mereka karena ada kepentingan yang begitu medesak, dan mereka menolak. Alasan mereka hanya satu, Mat Sumbing tidak mungkin bisa mengembalikan uang itu. Walaupun Mat Sumbing memohon-mohon seperti pengemis, mereka tetap tidak mau menghutanginya.

           Mat Sumbing meneruskan galiannya.

           Sesungguhnya, di tangan Mat Sumbing, bangkai kambing itu jadi terhormat. Seperti manusia, kambing itu dibungkus kain lungsuran, lalu dikubur secara baik-baik. Hanya, di upacara penguburan itu tak ada doa. Tapi toh kambing tak butuh doa-doa untuk bisa terhormat melebihi manusia. Kematiannya bahkan lebih terhormat ketimbang Dul Karem, perampok yang mampus dibakar massa, atau Pak Adil Subiyanto, pejabat korup yang mati dengan perutnya membengkak seperti perempuan hamil, atau bahkan lebih terhormat ketimbang Kiyai Sudir yang bunuh diri dengan menggantungkan lehernya dengan tali di wuwung rumahnya karena mendengar perkataan seorang pengemis bahwa amal perbuatan, sebaik dan sebesar apa pun itu, tak menentukan orang masuk surga.

           Dan tentu saja, Mat Sumbing, semelarat apa pun, tak pernah dan tak akan pernah memakan bangkai. Baginya, bangkai adalah makanan hewan dan bukan makanan manusia. Kalau ia memakan bangkai, sama saja ia bukan manusia. Karena itulah, kambingnya dibungkus kain dan dikubur.

           Lalu, Mat Sumbing mengingat asal-usul kambing itu. Ah, kambing kesayangannya itu. Suatu waktu di saat hujan, di depan bengkel motor yang sudah tutup, Mat Sumbing berteduh. Ia tidak ingin barang rongsokan yang sudah susah payah dimasukkan ke karung harus basah. Dengan rasa lelah, ia duduk sambil memandangi hujan dengan segenap pertanyaan: kapan berhentinya hujan dan kapan keroncongan di perut hilang?

           Mat Sumbing sebenarnya lapar, namun apa daya, uangnya belum ada karena masih berbentuk barang rongsokan. Ia tidak mungkin mampir di suatu warung makan untuk berhutang satu piring makanan. Sebab ia yakin penjual makanan itu tidak yakin kalau ia akan membayar hutangnya. Mungkin juga dengan segenap pertanyaan: kapan kamu bayar hutangnya dan dengan apa kamu membayarnya?

Lihat selengkapnya