Seperti malam, wajah perempuan itu kelihatan lebih muram ketimbang perempuan lain. Sikapnya dingin seperti angin. Dan tak ada suara. Tak ada suara sedikit pun yang keluar dari mulutnya. Jika di dekatnya, seolah-olah dunia ini tercipta dari ribuan sepi. Terbuat dari kenangan-kenangan amat sunyi yang abadi.
“Apakah perempuan itu puasa kata-kata?” bisik lelaki, yang tampaknya adalah mahasiswa semester 14, yang kebetulan melintas.
“Tidak. Barangkali dia memang enggan berbicara.” Tukas lelaki yang lain. Lelaki yang tidak diketahui identitasnya sama sekali oleh siapa pun. Apalagi si pembaca cerita ini.
“Kabarnya, setelah kepergian pacarnya, dia berjanji tak akan mengeluarkan suara apa-pun.” Lelaki yang wajahnya sendu di belakang itu menyahut dengan hambar. Kemudian suara o… dari beberapa mulut keluar. Apakah perempuan itu berpuasa kata-kata? Tunggu dulu, sebab hal itu hanya spekulasi yang lahir dari pikiran seorang tokoh di dalam cerpen ini.
Perempuan itu tidak asing lagi bagi penduduk di sekitar alun-alun. Ia selalu muncul sendirian menjelang malam di bangku yang sama. Di bangku yang ternaungi beringin tua. Awalnya kehadiran itu tidak ada yang mempedulikan. Tetapi karena terlalu sering akhir-akhir ini ia ada di sana, maka perlahan-lahan mulai ada yang ‘semacam’ terusik.
Pertamanya adalah bapak berkumis yang sering mengajak anaknya bermain di taman itu. Entah kenapa anaknya tiba-tiba menangis ketakutan setelah melewati perempuan itu dan mengajak cepat-cepat untuk pulang. Tetapi, walau sampai rumah, anak itu tetap menangis. Bahkan sampai keadaan tertidur pun kadang-kadang tetap mengeluarkan tangisan yang kalau kau tahu, sangat miris.
“Saya sempat mendatangi sendiri perempuan itu dan bertanya kenapa ia tidak pulang?” jelasnya sambil menirukan pada saat ia bertanya kepada perempuan itu. “Tapi dia tidak menjawab. Hanya memandang saya dengan tatapan kosong. Tatapan yang hampa. Namun terasa mengerikan. Saya jadi takut sendiri dan akhirnya memilih pulang.”
Kedua, pengakuan dari seorang lelaki yang kebetulan diagung-agungkan karena puisi yang dikarangnya begitu memukau. Kebetulan waktu itu ia sedang berjalan di alun-alun untuk sekadar menghilangkan kegalauan. Sebagai penyair yang rentan galau, ia mengerti cara untuk menghibur diri. Maka, ketika ia melihat seorang perempuan duduk sendirian sambil melamunkan entah apa di bangku bawah beringin tua, ia mendekatinya. Ia bertanya yang kira-kira bisa dituliskan seperti ini:
“Kamu kok sendirian saja?”
Tidak ada jawaban.
“Neng, lagi nunggu siapa?”
Tetap tak ada jawaban.