Memeluk Bapak

Daruz Armedian
Chapter #26

25

Ken, kalau saja aku datang padamu membawa batu dan benda keras itu kuhantamkan di kepalamu, akankah pabrik yang kau banggakan itu masih angkuh berdiri dan tetap menelurkan cerpen-cerpen setiap hari? Tetapi tidak. Aku tidak sejahat itu.

           Sampai pada suatu hari yang biasa, aku mendengar kabar yang tak biasa.

           Aku mencermati kabar itu, kabar dari tetangga samping rumah, sambil menikmati kopi dan membaca koran minggu tepat pada rubrik sastra. Tentu saja yang kubaca bukan cerpen Ken—aku dari dulu tak pernah membaca cerpen-cerpennya. Ken adalah orang yang mengaku di kepalanya terbangun pabrik cerpen, maka tak ayal, setiap hari ia memproduksi cerpen-cerpen untuk dikirimkan ke media massa. Dan memang orang-orang mengakui, cerpen-cerpennya akhir-akhir ini menghiasi media massa.

           Aku sedang membaca cerpen Anjing yang Ingin Mati Bahagia karya Agus Noor. Tetapi tidak fokus karena kabar itu belum selesai kucermati. Kira-kira bergini:

           “Ken, si penulis cerpen itu, hilang sampai sekarang!” kata seorang mahasiswa yang telat lulus dan kebetulan penggemar cerpen Ken.

           “Ha? Hilang? Hilang ke mana?” kataku panik—seolah-olah panik.

           “Siapa yang tahu.”

           “Sejak kapan?”

           “Kemarin.”

           “Kamu tahu dari mana?”

           “Dari Facebook. Banyak yang sudah membuat status tentang dia yang menghilang. Tetangganya, adiknya, kakaknya, teman-temannya, dan pembaca cerpennya.”

           Aku mengangguk waktu itu. Dalam anggukan itu aku tak mengerti mau berbicara apalagi.

           Dan hari ini aku masih memikirkan, ia hilang ke mana. Bagaimanapun, aku merasa perlu memikirkan itu. Sebab, aku juga suka menulis cerpen dan sesama penulis cerpen sebaiknya saling memikirkan satu sama lain. Apa jangan-jangan ia jatuh cinta pada seorang perempuan dari dunia maya—bisa jadi begitu karena ia aktif sekali di dunia maya. Dan ia melanglang buana menjadi pengembara hanya demi menemui perempuan itu. Lalu dalam perjalanan pencariannya, ia kesulitan karena mengalami banyak rintangan. Misalkan jalanan yang ditempuh penuh jurang, terpisah lautan, atau dihalangi gunung-gunung dan hutan-hutan.

           Atau jangan-jangan, ia memang sengaja menghilang dengan kekuatan yang diperoleh dari dunia mimpi, dunia imajinasi, atau dunia-dunia yang lain. Dalam keadaan hilang itu ia menemukan sebuah taman yang di pinggirnya kembang-kembang dan pepohonan, di tengahnya danau kecil airnya bersih meneduhkan. Sehingga ia tidak ingin kembali ke asalnya.

           Tetapi hal itu hanya spekulasi saja. Dan tentu aku membantah sendiri spekulasi itu. Sebab jarang sekali hal demikian terjadi di dunia ini.

**

           Dan memang benar. Ken hilang. Aku percaya hal itu karena setiap minggu, aku tak menemui cerpennya di media massa. Secara tak sadar, setelah hilangnya Ken, aku malah menunggu cerpen-cerpennya kembali meruap. Kembali membuncah seperti halnya kecambah-kecambah. Tak terhitung. Padahal hari-hari sebelumnya aku tak pernah seperti itu. Kecuali hanya tahu saja, tiap minggu ada cerpennya. Di media apa saja.

           “Mungkin Ken diculik seseorang.” Kata temanku, pecinta cerpen, suatu hari di angkringan belakang tempat perkuliahan. Sungguh sadis spekulasinya.

           Aku diam saja sambil makan gorengan. Dalam diam itu tentu aku mendengarkan omongannya.

           “Sekarang kan banyak sekali hal-hal seperti itu.” Tambahnya.

           Usai gorengan di tanganku habis, barulah aku menanggapi omongan itu. Begini:

Lihat selengkapnya