Di sebuah jalan, di pinggir penjara Kalisosok, atau kalau kau kurang setuju, di pinggir bekas penjara Kalisosok yang sudah tidak terawat itu, ada orang menjual bakso mata. Ya, bakso mata. Kalau malam, sekitar pukul sepuluh, ia dan gerobaknya akan berdiam di sana. Menunggu pembeli demi pembeli. Atau kalau tidak ada yang membeli saat itu, karena suasana terlalu sepi, maka ia akan melanjutkan berjualan sepanjang jalan. Entah ke mana saja, tidak ada yang tahu pasti tujuannya.
Gerobak yang dipakai untuk jualan pun menurutku sangat unik. Bagaimana tidak, gerobak itu terbuat dari keranda. Atau, kalau kau kurang setuju lagi, gerobak itu berbentuk keranda yang di bawahnya ada dua ban. Dua ban yang berdampingan. Gerobak itu didorong dari belakang dengan cara yang pelan. Itu membuatku mudah mengenalinya. Sebab, tidak ada lagi di dunia ini gerobak bakso yang seperti itu. Di bagian samping gerobak tertulis jelas dengan huruf-huruf kapital: BAKSO MATA ASLI KALISOSOK.
Sudah lama ia berjualan seperti itu. Mula-mula, aku tidak percaya. Sebab, bagaimanapun, mata diciptakan tidak untuk dijadikan makanan, terutama sebagai pengganti pentol bakso. Itu terlalu mengerikan. Tetapi, ternyata memang benar setelah beberapa hari kemudian aku membuktikannya sendiri.
Waktu itu aku membelinya semangkuk, untuk sebuah percobaan. Ternyata enak juga. Dan, lagi-lagi, ternyata, unik juga. Kreatif. Pentol bakso terbuat dari mata. Jadi, kalau mau buat pentol, tidak perlu repot-repot membulat-bulatkan bahan-bahannya. Sausnya terbuat dari darah dan nanah. Sebagai pengganti bihun, ia menggunakan belatung. Belatung yang masih sehat wal afiat, artinya belatung yang belum mati. Jadi, ketika sudah bercampur adonan lain di dalam mangkuk, hewan kecil-kecil itu akan terasa indah dipandang. Terasa lebih hidup dan penuh dengan kedamaian.
Oh, ya, kuah yang dipakai itu terbuat dari air kencing. Dan, jika suatu hari kau membeli bakso ini, lalu menemukan sedikit sayuran di sana, itulah sayur rerumputan yang diambil dari pinggir-pinggir jalan. Satu-satunya yang tidak unik menurutku cuma satu: sambal. Sambal yang terdiri dari ulekan cabe.
“Cak, ini matanya mata apa, ya?” tanyaku pada suatu waktu ketika membeli dagangannya yang entah untuk keberapa kali. Aku memanggilnya ‘Cak’ karena belum tahu nama aslinya. Dan, sebenarnya juga tidak terlalu penting untuk menyebutkan namanya. Aku bertanya seperti itu sambil mengangkat sendok yang terbebani mata. Aku melihat jelas, di mata itu masih tampak urat-urat halus yang menempel. Masih ada darah, yang walaupun sedikit, mengalir pelan-pelan. Mata itu tidak meletus, atau berubah warna, semisal putihnya yang menjadi pucat, atau hitamnya yang menjadi coklat. Semuanya masih asli, persis mata yang normal. Sebab, mata itu tidak digodok, atau dimasak dengan cara yang lain.
“Mata manusialah. Masak mata kambing, atau mata sapi?” ia begitu yakin dengan jawabannya. Ketika menjawab itu, ia sama sekali tidak memandangku yang duduk di kursi sampingnya. Sebab, ia sibuk meladeni pembeli.
“Oh, benar juga dugaanku.” Kataku sambil mengangguk-anggukkan kepala.
“Ya, begitulah. Sebenarnya bisa juga memakai mata kambing atau mata sapi, atau mata hewan yang lain. Tapi, kan, sensasinya beda. Rasanya juga tak segurih mata manusia.”
Aku masih mengangguk-anggukkan kepala. Sesekali, menyeruput kuah bakso. Ah, memang, kuahnya saja enak. apalagi pentolnya. Juga sesekali memakan belatung-belatungnya. Rasanya, gurih dan geli-geli gimana gitu kalau belatung-belatung itu bergerak dan menyentuh langit-langit mulut. Sesuatu yang membuatku bahagia ketimbang digelitikin di telapak kaki.