Memeluk Bapak

Daruz Armedian
Chapter #28

27

Malam, sangat kelam tanpa bintang. Angin semilir menghembus ke bulu kuduk, menusuk-nusuk pori-pori. Aku pulang dari kerjaanku, di toko foto copy yang tutup setiap jam 12 malam. Jalan menuju rumah sangatlah liku. Melewati jembatan, kuburan dan di sampingnya pun jurang yang curam. Jalan yang dari dulu setiap jam segini terasa sepi. Seperti tak ada kehidupan sama sekali. Meski begitu, aku sudah biasa menghadapi kenyataan seperti ini. Pulang jam 12 malam dengan naik sepeda ontel pula, sebab aku tidak bisa naik motor sendirian.

Akhir-akhir ini banyak kejadian aneh di sekitar jalan ini, jalan di sekitar bekas pabrik padi ketintang. Menurut cerita dari mulut ke mulut, di sini sekarang sering bermunculan hantu. Dan katanya sudah dua kali terjadi kecelakaan dalam jangka waktu yang tak ada satu minggu. Perlahan bulu kudukku merinding ketika melewati kuburan. Oh, ini tak seperti biasanya. Hah, meski aku mencoba biasa, rasanya kakiku seperti mempercepat putaran rantai. Lebih cepat, lebih cepat. Semakin cepat sepedaku melaju, maka terasa semakin lama pula aku melewati jalan gelap itu. Aneh.

Memang, aku pernah mendengar cerita begini: pada jaman Belanda, tempat ini merupakan pabrik padi yang dibeli oleh perusahaan swasta waktu itu. Dan sekarang sudah tidak terpakai lagi.

Kisah seram yang sering aku dengar di tempat ini adalah munculnya sosok noni Belanda, ada juga sosok nenek tua yang diduga terbunuh di jaman Belanda. Dan kisah itu lama-lama sudah tidak digubris lagi. Tetapi, akhir-akhir ini, kisah-kisah seram itu muncul kembali dengan wajah yang berbeda.

Aku menduga, ini gara-gara kejadian pada beberapa hari yang lalu di kampungku:

Kami tak tahu persis siapa itu Uzza. Perempuan yang selama ini dituduh sebagai perempuan jalang. Entah dari negeri mana ia datang. Entah anak siapa. Seperti auratnya yang selalu tertutup dengan jilbab, keluarganya tertutup, tak ada yang mengetahui. Yang membuat orang-orang menuduhnya sebagai perempuan jalang ialah karena setiap dini hari—sekitar jam 1-2—ia didatangi pemuda yang gagah dengan menaiki mobil BMW putih.

Awalnya kami sama sekali tak curiga, ketika ia baru pertama kali menempati rumah besar itu. Kami yakin, pria yang selalu datang waktu dini hari itu tidak lain tidak bukan adalah suaminya. Namun ketika kami mendengar cerita ibu-ibu waktu beli sayur-sayuran, kami merasa curiga. Salah satu dari ibu-ibu itu bercerita bahwa ia pernah menanyakan langsung pada Uzza, yang saat itu juga ikut nimbrung membeli sayuran. Uzza sendiri yang bilang, ia belum punya suami. Masih berstatus perawan. Lalu ketika mereka menanyakan orangtuanya. Ia hanya diam lalu pergi tanpa sepatah kata. Seperti sedang menyembunyikan Sesuatu di balik kependiamannya.

Hal itulah yang membuat kami selalu curiga. Apalagi setiap malam ada yang datang ke rumahnya. Mungkin saja ia “kupu-kupu malam yang tak berterbangan”.

Sebenarnya aku punya inisiatif agar melaporkan ini semua pada kepala desa. Namun Retno—orang tertua dari golongan kami—melarang. Nanti akan menambah masalah-masalah yang lebih parah. Toh, kepala desa mana yang peduli? Biar kita saja yang tahu, katanya.

Suatu saat kami berempat—aku, Retno, Prayit, Beno sedang ngobrol-ngobrol di pos ronda. Kami melihat pemuda yang biasa datang ke rumah Uzza (kami mengenali mobilnya). Kami berinisiatif mengikutinya. Toh, rumah Uzza tidak terlalu jauh dari pos ronda. Kami bersembunyi di kegelapan, di rerimbun semak samping rumah Uzza. Kami melihat pemuda itu memasukkan mobil mewah ke dalam garasi yang sudah terbuka, mungkin dari tadi sudah terbuka. Mata kami semakin saling menajamkan pandangan ke pemuda itu. Anehnya, kami tak melihat Uzza keluar lantas menyapa pemuda itu.

Rasa curiga kami sudah mencapai puncak. Sehingga kami saling menyetujui untuk mendekati rumah Uzza yang tidak berpagar itu. Pelan-pelan kami berjalan menuju arah kamarnya lewat belakang. Mengendap-ngendap seperti maling. Terdengar suara pembicaraan antara mereka berdua.

Tak lama kemudian, suara dengus-mendengus dari dalam kamar. Sontak kami pun kaget. Saling pandang meski dalam kegelapan. Hanya pancaran mata putih kawan-kawan saja yang kelihatan. Aku sendiri curiga dengan dengusan itu. Sepertinya, mereka berdua “berhubungan intim”. Aku hanya mengira saja, tak kurang tak lebih. Karena tak ada celah untuk mengintip. Aku berdiri dengan pelan. Kuajak teman-temanku pergi dari tempat itu. Aku takut mereka marah dan nanti main hakim sendiri. Semisal dengan mendobrak pintu rumah Uzza. Okelah misalnya kalau Uzza benar-benar melakukan perbuatan keji itu. Tetapi, kalau tidak? kami bisa malu, dan kalau perlu malah masuk penjara karena telah membuat kerusuhan.

Kami melangkah ke jalan raya yang tersinari banyak lampu. Dan sepi, sangat sepi suasananya, hanya terdengar derik jangkrik kadang-kadang.

“Seperti apa yang kita dengarkan tadi, sudah jelas kalau Uzza itu perempuan jalang!” ucap Prayit mencak-mencak.

“Maka dari itu kita semua harus menyebarkan berita ini, semua warga harus tahu kalau Uzza, benar benar jalang!” Beno menyelak.

Lihat selengkapnya