Memeluk Bapak

Daruz Armedian
Chapter #29

28

Hari ini. Tepat pada malam yang hujan, aku melihat perempuan berjalan pelan. Tubuhnya kedinginan. Aku melihatnya dari balik jendela rumahku sendiri. Ia berjalan tanpa payung dan tanpa apa-apa untuk menahan hujan agar tidak membasahi tubuh dan pakaiannya. Sebelum bertanya-tanya lebih jauh, tentang nama, tempat asal, dan lain sebagainya, aku ingin ke sana, sekedar mengajaknya berteduh ke rumahku.

“Mau ke mana, Elisa?” Belum sempat aku membuka pintu, tiba-tiba ibuku muncul dari dalam kamarnya. Aku kira ia tadi sudah tidur. “Hujan-hujan begini. Mau ke rumah Neni? Besok kan masih bisa.” Tambahnya seolah-olah tahu apa yang ada dalam pikiranku. Mungkin ibu masih mengira kalau aku akan ke rumah Neni untuk kerja kelompok menggarap tugas sekolah, sebab tadi sebelum ia masuk kamar, aku bercerita kalau ada pekerjaan dengan Neni, sahabat sekaligus satu kelas denganku.

“Bu, apa Ibu nggak kasihan sama perempuan itu?” ketika mendengar perkataanku seperti itu, ibu terdiam. Bingung.

“Perempuan yang mana?” ibu bergegas mendekatiku. Dan aku menunjuk ke arah jendela. Aku lihat mata ibu mencarinya. Pandangannya menerobos jendela dan hujan. Agak lama ibu memandang ke luar sana, mungkin kalau dalam hitungan waktu, terhitung sebelas detik.

“Mana?” ibu melangkah lebih dekat lagi. Sekejap, ketika aku ingin menunjukkan kembali pada ibu keberadaan perempuan itu, ia tak ada. Hanya ada jalanan yang lengang dan rintik hujan yang semakin deras menghunjam.

“Loh, tadi ada di situ.” Aku kalut.

Ibu menggelengkan kepala. “Kalau ngantuk, jangan dipaksain untuk baca.” Katanya sambil pergi dan masuk kamar tidur. Aku sungguh tak mengerti apa maksudnya ini. Dan ya, seperti dalam film-film horor, bulu kudukku merinding. Aku segera masuk kamar tidur. Membungkus badan dengan selimut tebal sambil berharap-harap cemas, perempuan itu semoga tidak hadir dalam mimpiku.

**

           Dan perempuan itu datang lagi. Kali ini dengan baju yang amat putih. Rambutnya yang panjang dan hitam seolah menegaskan kalau ia datang dari dunia yang lain. Perempuan itu masih kecil. Tingginya sepertinya hampir sama denganku. Hanya saja ia kelihatan lebih tua dariku. Wajahnya masih lugu, namun sorot matanya, kalau kau tahu, sungguh seperti mempunyai dunia yang amat pilu.

           Aku keluar rumah. Dan ibu tidak tahu, barangkali sudah terlelap. Biasanya memang seperti itu, aku lebih suka tidur malam sekali, kalau tidak membaca buku ya main game. Perempuan itu memandang ke arahku ketika kulambaikan tangan. Aku tak tahu, kenapa menjadi orang sepemberani ini.

           “Sini. Ngapain malam-malam seperti ini main hujan-hujanan?” teriakku. Ia memang berjalan pelan menuju rumahku. Tetapi kemudian terhenti langkahnya. Padahal hujan semakin lebat.

           “Sini!” teriakku lebih kencang daripada sebelumnya. Ia hanya diam. Memandangku dengan sejenak. Kemudian pandangannya mengarah ke sesuatu yang lain. Dan malah duduk di bangku taman depan rumahku. Bangku itu menghadap ke arah jalan raya. Aku tak mengerti apa maksudnya. Membiarkan tubuhnya menggigil kedinginan. Dari jauh, kulihat wajahnya pucat. Sungguh, seperti wajah mayat!

Lihat selengkapnya