Tepat ketika aku sampai ruangan ini, suara itu muncul dari mulut Ningrum. Temanku. Suaranya melengking, seperti membelah malam. Dan aku yang masih dengan napas tersendat-sendat akibat tadi lari sebelum masuk ruangan ini, cepat-cepat merekam dengan kamera smartphone. Sebetulnya aku sibuk, tetapi ini adalah permohonan Ningrum agar aku menonton penampilannya malam ini. Tidak seperti biasanya ia sampai memohon-mohon seperti itu. Katanya, ini penampilan yang penting.
Dan, memang iya. Ini sangat penting. Sebab, suaranya yang melengking itu, membuat bulu kudukku merinding. Tidak ada suara lain kecuali suara Ningrum. Orang-orang seperti terkena sihir, diam dan kaku. Meresapi apa yang Ningrum lantunkan.
ojo tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo
Ningrum memejamkan mata. Menghayati apa yang dilantunkannya. Rambutnya yang panjang itu, kulitnya yang kuning-kuning kemerahan itu (sebenarnya, kulit asli Ningrum putih, tetapi karena sinar lampu yang kuning-kuning kemerahan jadi warna kulitnya berubah), kain batik yang dipakai itu, membuatnya semakin sempurna.
Dengan perlahan, kini kedua tangan Ningrum menari. Pelan, namun terlihat anggun. Lalu diikuti dengan suara gamelan. Bau dupa yang dibakar, aromanya menguar ke seluruh isi ruangan.
jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
wojo lelayu sebet
Ini memang yang dikehendaki Ningrum. Suatu hari ia pernah mengatakan padaku akan menampilkan sesuatu yang membuat takut penonton. Artinya, penonton tidak melulu terpana lalu tepuk tangan seusai ia tampil. Dan inilah yang terjadi sekarang. Aku, yang sehari-harinya bersamanya saja, takut bukan main. Apalagi orang lain?
Ningrum mengulangi tembang itu. Dan ketika tembang selesai dilantunkan untuk kedua kali, ia tak berhenti menari. Kemudian, mata yang terpejam itu kini terbelalak. Tajam menatap para penonton. Seperti seseorang yang marah dan bertahun-tahun menyimpan dendam. Aku pernah melihat mata tajam dan menakutkan seperti itu. Ya, itu mata Nyi Roro Kidul dalam sebuah film. Walaupun dalam film, itu tetap menakutkan.
Ningrum masih tetap menari. Aku gusar. Apa ini termasuk dari serangkaian penampilannya? Sebab, tarian itu lama sekali. Dan orang-orang tercekat. Mungkin menunggu kapan adegan itu selesai dan kemudian mereka bertepuk tangan. Sama sepertiku.
Tiba-tiba Ningrum berteriak sekencang mungkin. Itu yang membuatku kaget setengah mati. Tubuh Ningrum ambruk. Ia pingsan. Ruangan yang mulanya sunyi kini riuh. Orang-orang pada bertanya-tanya ia kenapa. Beberapa yang lain naik ke panggung, menolong Ningrum.
Itu adalah serangkaian hal-hal aneh yang terjadi setelah ia patah hati.
**
Di langit, mendung-mendung bergelayut pelan. Hitam. Kelam. Kemudian tak terlalu lama menurunkan gerimis. Gerimis yang tipis. Membasahi rerumputan di depan beranda kos-kosan.
Di kos Ningrum, pertengkaran dimulai. Aku yang tidak mengerti masalahnya apa, cuma diam dan mendengarkan dari kamar kosku sendiri, kos yang berdampingan dengan kos Ningrum. Pertengkaran itu dari dua insan. Laki-laki dan perempuan. Pertengkaran yang memecah ritmisnya hujan. Pertengkaran yang begitu memuakkan. Pertengkaran yang merusak konsentrasi seseorang yang sedang membaca buku, sepertiku.
“Ini salah kamu! Kenapa kamu tidak menepati janji ke bandara?!” teriak seorang laki-laki. Sebenarnya tidak semata-mata teriak, tapi juga membentak. Aku tahu benar laki-laki itu. Ia sudah sering diceritakan Ningrum padaku. Ia pacarnya.
“Ha? Salah aku? Sebagai cowok, harusnya kamu tahu! Harusnya kamu tuh nyadar kalau aku memang benar-benar nggak bisa datang waktu itu. Kan, sudah aku sms! Aku ada acara mendadak di kampus. Acara yang nggak bisa dibatalin begitu saja! Kamu itu selalu nyalahin aku! Kamu harusnya ngertiin aku juga.” bantah Ningrum.
“Tidak! Aku tak percaya sama kamu. Bulshit! Kalau aku yang minta, kamu pasti punya alasan begini begitu, tidak pernah satu kali pun menghargai aku! Kamu harusnya hargai aku sedikit saja. Lihat! Kamu sudah aku belikan tiket. Semuanya berantakan gara-gara kamu tidak datang. Aku jadi tidak berangkat.”
“Iya, iya, memang aku selalu salah di mata kamu. Selalu tidak berarti. Apa ini yang kamu namakan sebagai cinta? Ha? Cinta?!” suara Ningrum meninggi.
“Terserah apa katamu. Harusnya---“ suara si laki-laki terpotong.
“Apa? Apa, ha?”
“Munafik!“
Pembicaraan saling potong-memotong. Semakin panas. Semakin garang.
“Kamu cowok nggak tau diri!”
“Apa katamu?” kata si laki-laki.
Plak!
Terdengar suara tamparan. Aku tergidik. Aku takut bila pertengkaran itu semakin menjadi-jadi. Tidak hanya adu mulut tapi adu fisik. Tentu Ningrum perempuan yang lemah akan kalah. Laki-laki tidak tahu diri, batinku.
Aku masih di sini. Di kamar kosku sendiri. Duduk bersandar dinding. Di luar sana, gerimis sudah berubah menjadi hujan. Meski tidak terlalu deras, cukup untuk membuat suara pertengkaran semakin agak kurang jelas. Buku yang sedari aku pegang, kini kuletakkan di meja kecil dekat laptop. Simakanku menjadi serius. Sebab setelah tamparan itu, kini terdengar ada tangisan. Selain itu sudah tidak ada lagi suara-suara yang lain.
Ningrum menangis sesenggukan. Agak lama tidak ada pembicaraan lagi.
Aku merutuk dalam hati. Agak lama tidak ada yang kubaca lagi.
Laptop kumatikan.
Aku kira semuanya sudah selesai. Sebab, ada diam di antara mereka berdua. Ternyata tebakanku salah. Masih ada perbincangan-perbincangan yang lain.
“Cowok bajingan!” teriak Ningrum yang membuatku merinding. Entah akan ada apa lagi setelah perkataan itu. Aku hanya bisa berharap tidak ada yang lebih mengerikan daripada tadi. Aku tahu, Ningrum memang seperti itu kalau sedang emosi. Ia tidak segan-segan memaki siapa pun. Aku tidak kaget lagi omongan-omongan kasarnya. Sebab dari dulu memang seperti itu.
“Beraninya sama perempuan!” lanjutnya.
“Kita putus!” suara itu menggetarkan. Bahkan, tanpa kuduga, bulu kudukku merinding. “Tak usah lagi ngehubungin aku!”
Aku terus menyimak dan menyimak. Semakin kupincingkan telinga. Pada saat itulah...
“Oke, kamu, kamu, jangan per---“
“Jangan banyak omong!”