Deru mesin yang setiap hari terdengar di tempat kerjanya mulai terasa seperti suara latar sehari-hari bagi Dadang, ia tidak lagi merasa terganggu. Ia bahkan dapat melamun cukup lama di tengah kebisingan. Mungkin karena itu juga, pria itu terlambat menyadari bahwa ada sesuatu yang salah kali ini.
Suara teriakan turut terdengar di antara dengung mesin. Beberapa orang berteriak secara bersamaan, tetapi Dadang baru terlepas dari lamunan ketika ada yang mengguncang tubuhnya. Pria yang sebentar lagi genap berusia 40 tahun itu lantas berkedip kebingungan.
“A-apa yang terjadi, Pak?” Dadang bertanya dengan panik. Ia menoleh ke kanan dan kiri, seketika mengetahui apa yang menjadi sumber keributan semua rekan kerjanya.
“Kalian ini kenapa? Bukankah kita sudah diperingatkan berkali-kali untuk tidak lengah di tempat kerja?!” bentak pria yang tadi mengguncang tubuh Dadang. “Sebaiknya kamu istirahat saja! Satu orang yang terluka sudah terlalu banyak untuk perusahaan ini tanggung!”
Dadang hanya bisa mengangguk dan membiarkan pria itu pergi menuju kerumunan yang terbentuk tidak jauh dari tempatnya berdiri. Meski terhalang oleh banyaknya orang yang berkumpul, Dadang masih bisa melihat cairan merah berceceran di lantai. Mesin-mesin pencampur bahan pembuatan bata ringan berhenti beroperasi entah sejak kapan, tampaknya seseorang telah menekan tombol henti darurat.
Termangu Dadang melihat Soma—salah satu rekan kerja terdekatnya—dipapah ke luar tempat kerja dengan tangan kanan terangkat ke atas. Tangan itu terlihat tebal oleh kain yang membalutnya, tetapi kain itu hampir tidak mampu menampung cairan merah yang terus mengalir. Erang kesakitan terus keluar dari mulut pria yang hampir kehilangan kesadaran.
Seketika Dadang merasa ada sesuatu yang mengaduk-aduk perutnya lalu mendesak keluar kerongkongan hingga ia harus menutup mulut rapat-rapat. Meskipun tidak menyaksikan kejadiannya secara detail, Dadang tahu bahwa kecelakaan yang lebih besar bisa saja terjadi seandainya tidak ada pekerja yang sigap mematikan mesin.
“Sepertinya tadi Soma mencoba melumasi mesin tanpa pelindung,” jawab salah satu pekerja yang Dadang tanya. “Bukannya kamu tadi ada di dekatnya? Harusnya kamu peringatkan dia untuk tidak melakukan itu. Untung saja ada yang melihatnya saat tangannya terperangkap di titik jepit.”
Mendengar itu, perasaan bersalah langsung menjerat Dadang. Sejak pagi ia terlalu sibuk mengkhawatirkan istri dan anaknya di kampung yang lama tidak memberi kabar, hingga akhirnya ia lalai saat bekerja. Seharusnya ia menjadi rekan kerja yang lebih baik. Seharusnya ia bersikap lebih profesional di tempat kerja. Dadang menghela napas berat sambil mengusap wajahnya kuat-kuat. Setelah menenangkan diri, ia harus segera menemui Soma untuk meminta maaf sambil memastikan kabar rekan kerjanya itu.
Sayangnya, bahkan setelah Dadang berbaring di dalam kamar mes dan meneguk setengah botol air mineral, ketenangan tidak kunjung menghampirinya. Kini ia terpaku menatap layar ponsel yang menampilkan nomor kontak Esih, sang istri tercinta. Persoalan Soma mungkin harus ditunda sebab Dadang tidak dapat mengesampingkan kekhawatirannya terhadap keluarga. Ditambah lagi, Soma sedang mendapat perawatan di rumah sakit terdekat. Dadang mungkin tidak dapat menemuinya untuk sementara waktu.
Tepat di saat jari telunjuk Dadang hendak menekan tombol telepon, tampilan layar ponselnya berubah. Dadang hampir merasa senang karena mengira istri atau anaknya telah menghubunginya, tetapi semua rasa itu sirna setelah ia menyadari bahwa yang menelepon adalah ibunya sendiri.
“Kamu masih berjuang sendirian di kota orang, Dang?” tanya sang ibu, cara bicaranya sedikit mengandung logat Sunda. Dari satu pertanyaan itu saja, Dadang tahu ke mana pembicaraan ini akan mengarah.
“Iya, Bu. Ibu tahu sendiri situasi kami,” jawab Dadang lembut.