Air mata Esih sudah lama kering, tetapi tidak dengan luka di hatinya. Ia terus mengusap dada sementara matanya menatap kosong ke arah pintu kamar sang anak yang tertutup rapat. Di balik daun pintu itu mungkin anaknya tengah meringkuk di bawah selimut dengan wajah pucat dan tatapan nanar, sama seperti hari-hari kemarin. Betapa ingin Esih mendekap anak gadisnya erat-erat sambil mengatakan semuanya akan baik-baik saja, tetapi ia tidak yakin apa tindakan itu benar untuk dilakukan.
Meski sudah belasan tahun menjadi ibu dari Kamania, anak tunggalnya, Esih masih dipenuhi keraguan akan semuanya. Apa ia sudah memenuhi kebutuhan Nia dengan baik? Apa Nia bahagia selama menjadi anaknya? Haruskah Esih selalu menghibur dan melindungi Nia dari dekat, atau hanya mengawasi pertumbuhannya dari jarak yang cukup? Rasanya Esih seperti merawat sebuah benda yang terbuat dari kaca tipis, salah langkah akan membuat benda itu pecah, dan Esih akan hancur bersamanya.
Siapa yang tahu jika keraguan itu yang justru membuat anaknya terluka? Esih terlalu ragu untuk melindungi Nia dan membiarkan anaknya itu bebas memilih jalan yang akan ditempuh. Sayang sekali, tampaknya kebebasan itu yang kemudian menjadi bumerang dan melukai sang gadis yang belum sepenuhnya mengerti betapa berbahayanya dunia di luar sana.
Pintu kamar Nia tiba-tiba terbuka, gadis itu berjalan lunglai menuju kamar kecil yang berada tepat di samping kamarnya. Wajahnya putih pucat dengan bibir pecah-pecah, kantung matanya menghitam pertanda ia lama terjaga kemarin malam. Beberapa luka lecet menghiasi tangannya yang sibuk mengurut pelipis. Esih berusaha menggapai gadis itu perlahan sambil memanggilnya dengan lembut, tidak ingin mengejutkan anaknya yang akhir-akhir ini begitu sensitif terhadap suara.
“Aku bisa sendiri, Bu,” ucap Nia sebelum sosoknya lagi-lagi menghilang, kali ini di balik pintu kamar kecil yang dipenuhi stiker berbagai jenis ikan dan terumbu karang. Siapa pun yang melihat semua hiasan di permukaan pintu itu akan dapat langsung mengetahui seberapa besar cinta penghuni rumah terhadap kehidupan di laut.
Nyeri di hati Esih kembali timbul. Setelah semua yang terjadi, kemungkinan besar Nia tidak mau lagi terlibat dengan hal-hal yang berhubungan dengan lautan.
Esih menunggu dengan kedua telinga terbuka lebar. Tidak kunjung ada suara air yang mengalir dari keran, atau suara guyuran air dari gayung. Cemas kembali menghantui. Apa pun bisa terjadi kepada anaknya di dalam sana. Esih yang tidak sanggup membayangkan berbagai kemungkinan bahaya mungkin akan mendobrak pintu itu kalau saja tidak ada seseorang yang tiba-tiba mengetuk pintu depan.
Terburu-buru Esih menyambut kedatangan tamu yang sudah lama ia tunggu. Tanpa ragu ia memeluk tubuh Dadang yang masih berdiri kaku di depan rumah.
“Maaf, Akang baru bisa datang karena ada beberapa hal yang harus diurus terlebih dahulu. Jalanan juga sempat macet karena ada truk mogok,” tutur Dadang dengan penuh rasa bersalah. Sedikit salah tingkah mendapat sambutan hangat dari Esih yang sudah lama tidak ia temui. Dengan sedikit ragu-ragu, ia membalas pelukan sang istri yang sepertinya telah menjadi lebih kurus. Tulang punggung Esih terasa sedikit menonjol saat Dadang mengusapnya.
“Nia hampir tidak bisa tidur nyenyak di setiap malam.” Esih segera melepas pelukan mereka lalu bercerita panjang lebar, terlihat sekali bahwa ia telah lama menantikan saat-saat ini. “Dia juga jadi mudah takut dan cemas sampai Eneng harus jinjit setiap kali Eneng masuk ke kamarnya. Sulit sekali membujuknya untuk makan karena dia merasa mual dan terus muntah. Eneng takut, Kang. Apa sebaiknya kita bawa Nia ke rumah sakit?”
Dadang menatap sang istri lekat-lekat. “Nia-nya mau?”