“Nia! Udahan mainnya! Sebentar lagi Abah pulang!” Esih berteriak ke arah sekumpulan anak yang bermain di tengah lapangan. Debu dari tanah merah tempat mereka berlarian beterbangan memenuhi udara, tetapi anak-anak itu sama sekali tidak peduli dan terus saja memacu kedua kaki mereka sambil tertawa. “Aduh, Nia! Kamu, kan, baru mandi!”
Seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua melambaikan tangan. “Bentar lagi! Nia masih main jadi ucing!”
“Kalian udah ucing-ucingan dua jam! Ayo, pulang sekarang!” Esih mungkin harus terus berteriak kalau saja ibu dari anak-anak lain tidak mulai berdatangan. Pada akhirnya, Nia terpaksa berhenti bermain karena teman-temannya juga sudah harus pulang.
Jejak putih dari bedak yang sempat Esih pakaikan ke wajah Nia masih sedikit terlihat meskipun sang anak cukup banyak berkeringat. Esih mengusap wajah Nia dengan telapak tangannya dengan sedikit kesal. “Gimana ini? Kayaknya kamu harus mandi lagi.”
“Iya!” jawab Nia cepat. Tangannya yang memegang tangan sang ibu terus diayunkannya dengan riang. “Nia juga harus keramas, tadi Indri lempar tanah terus kena ke rambut Nia.”
“Yang benar?” Kedua mata Esih refleks meneliti setiap helai rambut hitam gadis itu. “Gak kotor, kok.”
“Pokoknya Nia harus mandi lama-lama.” Anak itu bersikukuh dengan bibir cemberut. “Harus!”
Esih mengembuskan napas panjang, segera ia menghentikan langkah mereka dan menatap sang anak lekat-lekat. Nia masih tersenyum seperti biasa, tetapi sebagai seorang ibu, Esih tahu ada yang salah. Anaknya itu telah menghabiskan waktu hampir seharian untuk bermain, biasanya Nia akan kelelahan dan ingin untuk segera tidur. Namun, kali ini Nia memaksakan diri untuk tetap terlihat energik dan bersikeras ingin mandi, ditambah keramas pula.
“Nia …,” hati-hati Esih berbicara, “takut ketemu Abah, ya?”
Kali terakhir Dadang pulang ke rumah, Dadang memarahi Nia habis-habisan karena mendapati sang anak memelihara kucing liar. Esih kira Nia masih takut dan segan kepada ayahnya karena kejadian itu.
Di luar dugaan, Nia mengerjapkan mata dan menggelengkan kepala dengan cepat. “Nggak. Kata siapa? Nia, kan, mau mandi karena mau ketemu Abah.”
Esih berpikir sebentar. “Karena Nia gak mau kelihatan berantakan di depan Abah?”
“Iya.”
“Kalau gitu mandinya gak perlu lama-lama, ya. Abah pasti sudah kangen banget sama Nia, jangan bikin Abah nunggu lebih lama.”
Nia tampak menggigit bibir bawahnya. Buru-buru Esih menepuk pelan bibir anak itu untuk menghentikannya. “Sama kayak Ambu, Abah juga sayang banget sama Nia. Sayangnya, Abah harus sering pergi kerja, jadi gak bisa sering main sama Nia. Tapi Abah tetap abahnya Nia.”
Meski masih terlihat ragu, Nia akhirnya menganggukkan kepala. Dengan segera permintaannya berubah, dari yang mulanya mandi menjadi cuci muka dan ganti baju. Tentu saja Esih tetap membuatnya mandi karena Nia sudah terlanjur banyak berkeringat.
Tiba waktunya Dadang datang, Esih kembali harus memutar otak. Suaminya itu terlihat kaku sekali menyapa Nia. Dadang bahkan kebingungan saat hendak memberi oleh-oleh, sehingga ia meminta Esih yang memberikannya kepada Nia.
“Nia kelihatannya tidak suka Akang,” ujar Dadang saat Esih protes. “Wajahnya terlihat terpaksa sekali saat dia mencium tangan Akang.”
“Tahu dari mana dia terpaksa?” tanya Esih kesal.
“Dia gak mau natap mata Akang.”