Memeluk Gelombang

Edelmira (Elmira Rahma)
Chapter #4

Belum Terlambat

“Pakai helm-nya dulu, Nak.” Tergopoh-gopoh Esih menghampiri Nia sambil membawa pelindung kepala. Ia pukul-pukul bagian atas benda itu dan meniup setiap debu yang menempel. Dengan teliti ia juga memeriksa bagian dalam, memastikan bahwa tidak ada hewan yang bersembunyi di sana. Terakhir kali, Esih harus bertarung dengan kecoak yang tiba-tiba datang menggerayangi kepalanya di saat ia menggunakan helm itu untuk naik ojek menuju kota. “Helm ini jarang ada yang pakai, tapi Ambu lupa terus mau cuci.”

Nia hanya diam sambil menatap kosong ke depan. Dini hari tadi ia sudah terlihat jauh membaik dan berbincang cukup panjang dengan kedua orang tuanya, bahkan ia sendiri yang mengajukan diri untuk ikut pergi ke tempat tujuan mereka hari ini. Namun, semakin mendekati waktu berangkat, Nia kembali mengunci mulutnya. Ia sama sekali tidak bereaksi saat Esih memasangkannya helm dan menutup ritsleting jaketnya.

“Kamu masih bisa berubah pikiran,” ujar Esih lembut sambil mengelus pipi Nia. Ia melirik ke arah Dadang, pria itu terlihat sangat bertekad melakukan semua hal demi Nia. Sepertinya sang suami sudah banyak berubah dibandingkan dulu, rasa haru kini memenuhi dada Esih. “Biar Abah dan Ambu yang pergi. Ambu akan hubungi temanmu untuk menemanimu di sini. Kalau gak salah … Indri, ya, namanya?”

Kedua mata Nia melebar mendengar itu. “T-tidak usah. Nia bisa, kok.”

“Kamu yakin?”

“Yakin.” Nia menarik napas dalam-dalam. Setelah melakukannya selama beberapa detik, ia kini terlihat lebih relaks dari sebelumnya. “Nia sudah dewasa. Nia tidak bisa terus bergantung pada Abah dan Ambu.”

“Usia 17 tahun belum cukup dewasa,” bantah Esih sambil sedikit terkekeh, tetapi kedua matanya kembali terlihat berair. Buru-buru ia memalingkan wajah dan menatap Dadang yang sedari tadi hanya menyaksikan. Sang suami juga telah mengenakan pakaian standar untuk mengendarai kendaraan roda dua. “Jaga Nia, ya, Kang. Kalau dia tiba-tiba minta pulang, pulang saja. Jangan dipaksa.”

“Akang tahu,” jawab Dadang singkat. Tidak perlu Esih beri tahu pun, ia sudah berniat untuk membatalkan semua rencana jika Nia terlihat tidak nyaman meskipun sedikit. Satu-satunya alasan yang membuatnya tetap mau menjalankan rencana hari ini adalah pikiran bahwa keadilan harus segera ditegakkan. Jika Nia tidak sanggup, Dadang berniat untuk melakukan semuanya sendirian.

Mereka bertiga kemudian melangkah ke luar rumah beriringan. Udara dingin pagi hari terasa menusuk hingga ke tulang, jaket tebal hampir tidak dapat menghalaunya. Dengan sigap Dadang naik dan menyalakan mesin motor bebek yang sudah lama membersamai keluarganya. Nia menyusul, duduk di belakang dengan kedua tangan memeluk erat pinggang sang ayah.

Dadang jadi teringat masa-masa ia mengantar Nia kecil ke sekolah. Meskipun Nia selalu masuk ke sekolah yang dekat dari rumah, gadis itu selalu minta diantar pakai motor. “Nia suka berkeliling sama Abah.” Ucapannya itu membuat Dadang seringkali sengaja mengambil jalan berputar demi menyenangkan hati sang anak. Nia akan tertawa riang sambil mendekap ayahnya lebih erat, angin pagi yang menerpa tubuh kecilnya tidak seberapa dibandingkan kehangatan yang menyelimuti hati keduanya.

Rutinitas mereka terpaksa berhenti setelah Dadang dipecat dari pekerjaan lama dan kesulitan mencari pekerjaan baru. Dadang pikir ia tidak akan merasa begitu kehilangan, sebab sudah lama ia mempersiapkan diri untuk menghadapi renggangnya hubungan mereka berdua. Sejauh yang ia tahu, semakin anak beranjak dewasa, anak akan semakin jauh dari orang tua dan lebih banyak mencari kebahagiaannya di luar rumah dengan bergaul dengan teman sebaya. Sayangnya, sampai saat ini pun Dadang masih kesulitan menahan kerinduannya terhadap masa-masa yang telah lalu.

Dadang segera mencegah dirinya melamun terlalu lama. Ia kini sedang berkendara bersama Nia, jangan sampai terjadi kecelakaan hanya karena ia tenggelam dalam kenangan. Hati-hati Dadang berkendara melewati jalan menurun. Permukaan jalan di desa mereka sudah lama diperbaiki menjadi lebih rapi dan mulus, tetapi Dadang tetap khawatir akan tergelincir mengingat sudah waktunya ia mengganti ban motor.

Penampakan rumah-rumah yang berjajar perlahan berganti dengan pepohonan. Butuh waktu cukup lama hingga akhirnya mereka sampai di desa berikutnya yang memiliki jalanan lebih datar. Suhu udara masih sama dingin, tetapi memiliki kelembapan yang terasa sedikit berbeda. Di kejauhan, di antara sela-sela bangunan yang berdiri, terlihat hamparan laut biru yang tampak bergeming. Sayup-sayup Dadang dapat mendengar suara debur ombak meskipun jarak mereka masih terhitung cukup jauh dari bibir pantai.

Kebiasaan memang sulit dihilangkan. Tanpa sadar, Dadang menepi ke trotoar terdekat. Ia matikan mesin motor lalu berbalik ke belakang. “Mau mampir ke Pantai Sawarga sebentar?”

Lihat selengkapnya